Pada buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Pengadilan Buku I, Mahkamah Agung RI, Agustus 1993, di halaman 14 dan 29
tercantum: Tugas dan wewenang Ketua Pengadilan adalah “Menyediakan buku khusus
untuk anggota Hakim Majelis yang ingin menyatakan berbeda pendapat dengan kedua
anggota Hakim Majelis lainnya dalam memutuskan perkara serta merahasiakannya.”
Apakah dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana pada
Pasal 14 ayat (2): “Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.” Dan ayat
(3): “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat,
pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat
dalam putusan.”, buku khusus tersebut masih berlaku dan dapat diterapkan di
peradilan tingkat pertama?
Sebelumnya di tahun 2004 dengan masih berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(sekarang sudah tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009) juga memuat ketentuan yang serupa, yaitu di
Pasal 19, sudah ada prinsip setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulisnya dan bilamana ada perbedaan pendapat wajib dimuat dalam
putusan. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut sudah dianggap tidak ada
lagi rahasia terkait pertimbangan hakim dalam putusannya.
Selayaknya putusan hakim setelah dibacakan di muka
persidangan tidak ada lagi rahasia yang harus disembunyikan dari para pencari
keadilan. Seyogyanya putusan hakim itu adalah apa yang diucapkannya dan
bukanlah apa yang tertera di putusan. Oleh karena itu, sejak tahun 2004, hakim
dituntut untuk mempunyai keberanian untuk mengungkapkan pendapat hukumnya dalam
menyelesaikan perkara. Bilamana terjadi perbedaan pendapat atau sesuatu hal
yang krusial, bukanlah dijadikan alasan untuk menutup perbedaan tersebut dari
masyarakat umum, khususnya para pencari keadilan.
Sebab itu, sekarang ini hakim dituntut merubah
pandangan/persepsinya, yaitu harus dapat menyampaikan pendapat hukumnya, selain
itu juga hakim dianggap sebagai “orang yang mengetahui hukum” ius curia novit.
Apakah dengan demikian, buku khusus tersebut layak untuk dapat dipertahankan keberadaannya di lingkungan peradilan?