Thursday, July 29, 2021

PERMOHONAN PEMBATALAN PENETAPAN SEPIHAK

Upaya hukum tidak semata-mata hak hukum dari para pihak yang berperkara di pengadilan, tetapi pihak yang tidak beperkara juga dapat mengajukan upaya hukum terhadap penetapan yang berasal dari permohonan sepihak. 

Adapun bentuk upaya hukum atas penetapan sepihak adalah berupa permohonan pembatalan penetapan sepihak dengan cara mengajukan gugatan atau perlawanan atau kasasi. (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3Tahun 2018, Perdata Umum, II.A.3.) 

Sedangkan upaya hukum kasasi atas penetapan yang diajukan oleh pihak lain yang berkepentingan tersebut harus diajukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya penetapan tersebut. (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2014, Perdata Umum, A.4.

PADA SAAT EKSEKUSI RIIL DIJALANKAN VERZET MASIH DAPAT DIAJUKAN

Sebagaimana pada buku Kompilasi Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung, Tahun 2012-2019, Bab 1 Rumusan Hukum Perdata, halaman 44-45, dapat diketahui bahwa Tergugat yang tidak hadir di sidang dan dijatuhkannya putusan verstek masih dapat mengajukan upaya hukum perlawanan (verzet) sampai dengan saat dijalankannya eksekusi riil dijalankan. (lihat lebih lanjut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012, Sub Perdata Umum-IV e dan f)

Friday, July 23, 2021

PIHAK BERPERKARA HARUS WASPADA TERKAIT WAKTU PENGAJUAN UPAYA HUKUM

Memperhatikan perkembangan hukum dan kebijakan terbaru pada Mahkamah Agung dapat dicermati adanya perubahan aturan administrasi terkait pengajuan upaya hukum atas panggilan dan pemberitahuan putusan melalui Kepala DesaLura, sebagaimana pada buku Kompilasi Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung 2012-2019, halaman 43, yang mana sebelumnya ditentukan bahwa:

“Tentang pemberitahuan putusan yang disampaikan melaui Lurah atau Kepala Desa, maka tenggang waktu pengajuan upaya hukum atas putusan tersebut adalah dihitung setelah Lurah atau Kepala Desa menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada yang bersangkutan. Apabila di dalam berkas tidak terlampir keterangan tersebut, maka diperintahkan PN untuk menanyakan ke Lurah/Kepala Desa.” (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2021, Sub Perdata Umum V)

Kebalikan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014, Sub Kamar Perdata Umum huruf A.6 menentukan bahwa baik panggilan maupun pemberitahuan putusan yang disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah tidak diperlukan bukti penyampaian dari Kepala Desa/Lurah kepada yang bersangkutan, sesuai ketentuan Pasal 390 ayat (1) HIR.

Dengan adanya kebijakan terbaru tersebut, para pihak berperkara yang sewaktu agenda sidang pengucapan putusan tidak hadir harus waspada terkait dengan waktu pengajuan upaya hukum. Hal ini dikarenakan pemberitahuan putusan melalui Kepala Desa/Lurah tidak diperlukan bukti penyampaiannya, dan tenggang waktu pengajuan upaya hukum atas putusan adalah dihitung setelah Lurah atau Kepala Desa menyampaikan pemberitahuan tersebut kepada yang bersangkutan.

Ada kalanya aparatur Desa/Kelurahan kesulitan untuk menyampaikan pemberitahuan salinan putusan dikarenakan satu lain hal. Sehingga sudah keharusan bagi para pihak yang tidak hadir di sidang pengucapan putusan  untuk aktif datang dan menanyakan perihal sidang pengucapan putusan atas perkaranya, apakah dimenangkan atau dikalahkan, terutama terkait dengan tenggang waktu pengajuan upaya hukum.

Oleh karena kewajiban pengadilan hanyalah menyampaikan pemberitahuan putusan atas pihak yang tidak hadir di sidang pengucapan putusan dan jurusita tidak menemui langsung pihak berperkara tersebut, terbatas pada pemberitahuan putusan disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah. Jangka waktu mulai terhitung sejak pemberitahuan putusan tersebut disampaikan melalui Kepala Desa/Lurah.

PERCERAIAN, PANITERA MENGIRIMKAN SALINAN PUTUSAN KE DUKCAPIL

Perubahan peraturan dan kebijakan mengakibatkan hak dan kewajiban warga negara mengikuti perubahannya. Salah satunya adalah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 mengakibatkan hak warga negara yang melalui proses perceraian di pengadilan berubah, seperti adanya ketentuan pencatatan amar putusan perceraian dicatatkan di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil di tempat peristiwa perkawinan dilangsungkan dan tempat terjadinya perceraian oleh Panitera Pengadilan dengan pengiriman salinan putusan. Hal tersebut adalah kewajiban dari Panitera Pengadilan. 

Sehingga manakala hakim lupa mencantumkan amar yang memerintahkan Panitera Pengadilan untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, di tempat peristiwa perkawinan dilangsungkan dan tempat terjadinya perceraian, mengakibatkan hak dari para pihak yang berperkara perceraian menjadi tercedera. 

Untuk menghindari kealpaan dari hakim mencantumkan amar tersebut, ada baiknya pihak yang berperkara perceraian di pengadilan supaya mencantumkan dalam petitum gugatan agar hakim memerintahkan “Panitera Pengadilan untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, di tempat peristiwa perkawinan dilangsungkan dan tempat terjadinya perceraian.” (lihat: Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017, Perdata Umum, 1.c.)