Tuesday, January 15, 2019

BUKU KHUSUS DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM


Pada buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I, Mahkamah Agung RI, Agustus 1993, di halaman 14 dan 29 tercantum: Tugas dan wewenang Ketua Pengadilan adalah “Menyediakan buku khusus untuk anggota Hakim Majelis yang ingin menyatakan berbeda pendapat dengan kedua anggota Hakim Majelis lainnya dalam memutuskan perkara serta merahasiakannya.”
Apakah dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana pada Pasal 14 ayat (2): “Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.” Dan ayat (3): “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang  berbeda wajib dimuat dalam putusan.”, buku khusus tersebut masih berlaku dan dapat diterapkan di peradilan tingkat pertama?

Sebelumnya di tahun 2004 dengan masih berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (sekarang sudah tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009) juga memuat ketentuan yang serupa, yaitu di Pasal 19, sudah ada prinsip setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulisnya dan bilamana ada perbedaan pendapat wajib dimuat dalam putusan. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut sudah dianggap tidak ada lagi rahasia terkait pertimbangan hakim dalam putusannya.

Selayaknya putusan hakim setelah dibacakan di muka persidangan tidak ada lagi rahasia yang harus disembunyikan dari para pencari keadilan. Seyogyanya putusan hakim itu adalah apa yang diucapkannya dan bukanlah apa yang tertera di putusan. Oleh karena itu, sejak tahun 2004, hakim dituntut untuk mempunyai keberanian untuk mengungkapkan pendapat hukumnya dalam menyelesaikan perkara. Bilamana terjadi perbedaan pendapat atau sesuatu hal yang krusial, bukanlah dijadikan alasan untuk menutup perbedaan tersebut dari masyarakat umum, khususnya para pencari keadilan.

Sebab itu, sekarang ini hakim dituntut merubah pandangan/persepsinya, yaitu harus dapat menyampaikan pendapat hukumnya, selain itu juga hakim dianggap sebagai “orang yang mengetahui hukum” ius curia novit.

Apakah dengan demikian, buku khusus tersebut layak untuk dapat dipertahankan keberadaannya di lingkungan peradilan?