Friday, December 20, 2019

HAKIM RELIGUS ATAU HAKIM SPIRITUAL?!


Penulis menukil dari artikel di laman Institute For Leadership and Life Management:

Arvan Pradiansyah, Happiness Inspirer Indonesia di awal talkshow Smart Happiness yang berjudul “Orang Religius atau Orang Spiritual?” pada tanggal 8 Februari 2013 di Smart FM Network., bahwa ada lima perbedaan antara orang religius dengan orang spiritual, yaitu Pertama, orang religius mengangap Tuhan itu ada, sedangkan orang spiritual menganggap Tuhan itu hadir. Kedua, orang religius merasa lebih suci daripada orang lain, sedangkan orang spiritual menganggap semua orang setara, serta mengakui kelebihan & kekurangan orang lain. Ketiga, orang yang religius mudah melihat perbedaan, sedangkan orang spiritual mudah melihat persamaan. Keempat, orang yang religius hanya mementingkan simbol-simbol, pakaian, dan lain sebagainya, sedangkan orang yang spiritual mementingkan esensi, hakekat dan makna. Kelima, orang religius baik dalam urusan ibadah saja, sedangkan orang spiritual baik dalam semua urusan.”

Pendapat tersebut dicoba oleh Penulis untuk disandingkan dengan subyek berupa Hakim. Sekilas, Judul tulisan ini hendak mengangkat adanya kontroversial pemilihan antara Hakim Religius atau Hakim Spiritual?!

KREATIVITAS DI SOSOK HAKIM


Hakim adalah sosok pengadil yang menerima, memeriksa, memutus dan mengadili suatu perkara yang dihadapkan kepadanya. Kadangkala hukum terutama undang-undang sebagai alat untuk mengadili perkara tidak akan pernah lengkap. Sehingga letak Hakim untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan kenyataan dalam hal ini perkara yang ada dalam masyarakat agar dapat mengambil Putusan yang adil sesuai tujuan hukum.

Hal ini sejalan dengan asas bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, dengan kata lain Hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtvinding). Tetapi juga Hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Selain itu, Hakim untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib mengadilinya.

Bagaimana sikap Hakim yang mengahadapi keadaan perkara yang mana undang-undangnya tidak lengkap, apakah diperlukan kreativitas dengan wujud Penemuan Hukum (rechtvinding)?

Thursday, December 19, 2019

IMPLEMENTASI 5G UNTUK PENGAWASAN PERADILAN


Pada tanggal 28 November 2019 Telkomsel dengan sukses menguji coba 5G untuk industri 4.0 di Batam (Tanjung Pinang Pos, 29/11/2019). Uji coba tersebut membuktikan potensi 5G yang berdampak kepada peningkatan kualitas, produktivitas, otomasi, optimasi, dan efisensi di dalam operasional lintas industri. Selian itu, di bidang pemerintahan dan keamanan dapat memanfaatkannya untuk memantau tempat-tempat tertentu dalam bagian sistem pengawas pintar secara real-time.

Apakah Mahkamah Agung dapat memanfaatkan teknologi 5G di bidang pengawasan peradilan?

Wednesday, December 11, 2019

TIGA MACAM KEBIJAKAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA


Sebagaimana pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung Rrepublik Indonesia Nomor 57/KMA/SK/IV/2016 tanggal 13 April 2016 tentang Perubahan Atas Keputuan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 271/KMA/SK/X/2013 tentang Pedoman Penyusunan Kebijakan Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa kebijakan Mahkamah Agung RI terdiri dari Peraturan Mahkamah Agung,  Surat Edaran Mahkamah Agung, dan Surat Keputusan.

Monday, December 9, 2019

KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA UNTUK PENGUJIAN KEABSAHAN SERTIPIKAT TUMPANG TINDIH


Sebagaimana mengutip Surat Edaran MA RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara, Huruf E: Pengujian sertipikat tumpang tindih, yaitu:
“1.       Pengujian keabsahan sertipikat hak atas tanah oleh Pengadilan TUN dalam hal terdapat sertipikat hak atas tanah yang tumpang tindih, hakim dapat membatalkan sertipikat yang terbit kemudian, dengan syarat:
a.         Pemegang sertipikat yang terbit dahulu menguasai fisik tanah dengan iktikad baik; ataub.         Riwayat hak dan penguasannya jelas dan tidak terputus; atauc.         Prosedur penerbitan sertipikat yang terbit terlebih dahulu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” “2.       Dalam hak tidak terpenuhinya syarat sebagaimana pada poin a atau b atau c di atas maka masalah kepemilikan terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses perkara perdata.”

Tuesday, December 3, 2019

Pengamanan Pengadilan (judicial security)


Berita meninggalnya Hakim Jamaludin, S.H., M.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Medan pada hari Jumat, tanggal 29 November 2019 setelah sebelumnya ditemukan jenazahnya di dalam mobil pribadinya di sebuah jurang perkebunan sawit oleh warga, yang kemudian pada tanggal 2 Desember 2019 ditindaklanjuti dengan PP IKAHI (Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indoensia) dengan menyiarkan Press Release “PP IKAHI Mendukung Pengungkapan Penyebab Meninggalnya Hakim Jamaludin”.

Friday, November 29, 2019

100 ungkapan populer bahasa Inggris yang wajib dihafal bagi pemula



dikutip kembali:

1.      Nevermind                                              tidak mengapa
2.      Of course, certainly, sure                         tentu saja
3.      Of course not, certainly not, sure not      tentu saja tidak
4.      What impudent! Deuce, fuck you            kurang ajar/brengsek
5.      Oh, I see                           oh, begitu
6.      By the way                       ngomong-ngomong
7.      For what                           untuk apa
8.      Don’t be like that             jangan begitu
9.      Don’t be like this             jangan begini
10.  Anything else                   ada lagi?/yang lain?

DUALISME PRAKTEK PENYAMPAIAN SALINAN/PETIKAN PUTUSAN/PENETAPAN IKRAR TALAK/PERKARA PERCERAIAN KE KANTOR KEPENDUKAN DAN CATATAN SIPIL


Berdasarkan SEMA No.1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, terdapat dualisme praktek penyampaian salinan putusan/penetapan ikrar talak dan putusan perkara perceraian.
Sebagaimana dalam kutipan (foto) di bawah ini:
Kamar Agama:


Kamar Perdata:


Friday, November 15, 2019

TUGAS PANITERA ATAS PUTUSAN PERCERAIAN

SEMA No.1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, maka dalam amar putusan perkara perceraian, sekurang-kurangnya memuat perintah kepada Panitera untuk mengirimkan salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kepada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, di tempat peristiwa perkawinan dilangsungkan dan tempat terjadinya perceraian.

HAK HADHANAH


Sebagaimana pada SEMA No. 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, huruf C. Rumusan Hukum Agama, angka 10: “Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut.”

Terkutip dari muslimpintar.com (29/08/2019):
Pengertian Hadhanah dan Syarat Hadhanah – Hadhanah berasal dari kata “hidhn” yang artinya bagian samping yang bisa digunakan untuk menggendong anak kecil. Dalam kaitannya dengan kehidupan berumah tangga hadhanah dapat diartikan sebagai istilah dengan pengertian mengasuh, memelihara, dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz.” Dalam artikel tersebut tertulis bahwa “1. Jika anak masih kecil maka ibunya yang lebih berhak untuk mengasuh dan memeliharanya; 2. Dan Jika ibunya menikah lagi, maka hak untuk mengasuh berpindah kepada bapaknya. Selain itu walaupun ibu berhak untuk mengasuh, menjaga dan mendidik anak-anaknya tetapi nafkah kebutuhan pokok dan materi anak tersebut merupakan kewajiban bapaknya. Apabila ibunya tidak sanggup untuk menjaga, memelihara dan mendidiknya, maka bapaknya berhak mengambil alih urusan hadhanah. Tapi jika keduanya tidak mampu untuk menjaga, memelihara dan mendidik anaknya, maka urusan hadhanah diberikan kepada keluarga yang sudah dewasa atau hadhanah yang telah mencapai usia tujuh tahun baik laki-laki maupun perempuan menurut madzhab Syafi’i diberikan hak untuk memilih ikut ibunya atau ikut ayahnya.

Adapun Di dalam pasal 105 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No.1 Tahun 1991 menyatakan “Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya”.

Dengan demikian, bila tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka secara hukum pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun jatuh kepada ibunya.

Persoalan timbul, bilamana gugatan diajukan dengan alasan hukum bahwa istri (ibu dari anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun) telah berpindah agama. Hal demikian belum diakomodir dalam Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tersebut.

Oleh karena itu, menjadi tugas Hakim di Peradilan Agama untuk menyimpangi Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar tersebut. Dengan mengambil pendapat dari Korik Agustian (Hakim Pengadilan Agama Sengeti), bahwa:
Pada prinsipnya aturan perundang-undangan di Indonesia mengenai hak hadhanah adalah ayah dan ibu mempunyai hak yang setara untuk memelihara, mengasuh, membiayai dan mendidik anak-anaknya.
Apabila terjadi sengketa mengenai hak hadhanah, pemberian hak hadhanah harus lebih mengutamakan kepentingan anak, bukan kepentingan ayah dan ibunya.
Batasan umur seorang anak telah disebut mumayyiz, mayoritas ulama Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali berpendapat minimal telah mencapai usia 7 tahun bukan 12 tahun.  

Selain itu, untuk tidak melanggar dari Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar tersebut, bilamana Hakim Agama menemukan permasalahan: “bila tidak diajukan dalam gugatan/permohonan”, Hakim Agama dapat menanyakan kepada pihak Penggugat/Pemohon tentang perbaikan surat gugatan atau permohonan yang terkait dengan  hak hadhanah”, pengasuhan anak jatuh kepada pihak siapa.




Sumber:
Korik Agustian, TINJAUAN  ANALITIS PASAL 105 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG HAK HADHANAH  DAN BATASAN UMUR MUMAYYIZ”, (Hakim Pengadilan Agama Sengeti), www.pta-jambi.go.id, diakses tanggal 30 Agustus 2019




Thursday, November 14, 2019

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN PELAYANAN YANG LAYAK, SECURE, DAN SAFETY


Bapak, dicari-cari orang Kejaksaan? kata si Sulung dengan wajah gemetar.
Ada apa lagi ini! Kemarin sudah dipanggil dan diperiksa Polisi, sekarang Jaksa. Apa tidak ada kerjaan mereka, tidak lihat apa, gara-gara ke Polisi, Bapak tidak bisa beli beras! Dengan nada marah sambil mengusap keringat yang ada di kening.

Narasi di atas hanyalah gambaran dampak apa yang mungkin ditimbulkan dalam penegakan hukum pidana. Benar, bahwa kewajiban hukum bagi Warga Negara Indonesia untuk taat kepada hukum, terutama bila diperlukan sebagai saksi dalam perkara pidana.

Tuesday, August 27, 2019

PEMBUKTIAN ACARA VERSTEK TERHADAP PERKARA PERCERAIAN


SEMA No. 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada huruf C. Rumusan Hukum Kamar Agama, angka 3, yaitu: “Pemeriksaan secara verstek terhadap perkara perceraian tetap harus melalui proses  pembuktian, ... sedangkan pemeriksaan perkara selain perceraian harus menunjukkan adanya alas hak dan tidak melawan hukum ....”

Dari rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa ada pengecualian di hukum acara dalam pembuktian acara verstek terhadap perkara perceraian, yaitu perkara perceraian “tetap harus” melalui proses pembuktian.

Dari segi teori, rumusan tersebut ada benarnya. Oleh karena pada perkara perceraian tidak ada eksekusi riil, lain halnya dengan perkara perdata selain perceraian. Juga pada perkara perceraian tidak ada upaya hukum perlawanan terhadap putusan verstek perceraian. Sehingga dapat dikatakan kekeliruan besar bilamana perkara perceraian yang tergugatnya tidak hadir di muka persidangan diputus dengan verstek tanpa ada proses pembuktian dalil gugatan cerai/talak.

Monday, August 26, 2019

PUTUSAN VERSTEK: Bukti Permulaan yang Cukup


SEMA No. 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada huruf B. Rumusan Hukum Kamar Perdata, angka 1. Perdata Umum, huruf a, yaitu: “Putusan dapat dijatuhkan secara verstek apabila para pihak telah dipanggil secara sah dan patut sesuai ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR, namun apabila gugatan dikabulkan maka harus didukung dengan bukti permulaan yang cukup.”

Bagaimana implementasi terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut?

Pada template putusan verstek dalam pertimbangan hukumnya termuat redaksi:
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat pada pokoknya adalah...;
Menimbang, bahwa oleh karena jangka waktu dan formalitas panggilan menurut hukum telah diindahkan dengan sepatutnya serta gugatan tersebut tidak melawan hukum dan beralasan, maka para Tergugat yang telah dipanggil dengan patut akan tetapi tidak datang menghadap di persidangan dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan tersebut dikabulkan dengan verstek seluruhnya/sebagian;
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Penggugat dikabulkan dengan verstek dan Tergugat ada di pihak yang kalah maka Tergugat dihukum membayar biaya perkara ini;
Memperhatikan Pasal 125 HIR/149RBg dan peraturan-peraturan lain yang bersangkutan;
            MENGADILI:
1.         Menyatakan Tergugat telah dipanggil dengan patut tetapi tidak hadir;
2.         Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya/sebagian dengan verstek;
3.         Menghukum Tergugat untuk ... dst;
4.         Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp....,00 (... rupiah);

Dari format template tersebut, penulis menganggap bahwa yang dimaksud dengan “apabila gugatan dikabulkan maka harus didukung dengan bukti permulaan yang cukup” adalah tertuju kepada gugatan tidak melawan hukum dan beralasan.

Hal yang patut diperhatikan bahwa pembuktian tersebut bukan dalam arti persidangan yang maraton, seperti adanya pemanggilan saksi, yang persidangan akan berlanjut dengan persidangan-persidangan berikutnya. Padahal putusan verstek wajib diputus apabila tergugat tidak datang dalam sidang pangggilan pertama, atau pada sidang panggilan kedua.

Gugatan tidak melawan hukum dan beralasan adalah kewenangan majelis hakim untuk menilainya. Oleh karena walaupun gugatan dikabulkan, pihak tergugat yang tidak hadir di persidangan dapat menggunakan hak “verzet” terhadap putusan verstek tersebut. Selain itu, walaupun ada eksekusi, pihak tergugat yang tidak hadir di persidangan dapat menggunakan hak “perlawanan terhadap eksekusi”. Sehingga dapat diartikan bahwa peluang upaya hukum berupa perlawanana terhadap putusan verstek ataupun eksekusinya masih terbuka lebar bagi pihak tergugat yang tidak hadir di persidangan.

Sehingga, terdapat kekeliruan apabila majelis hakim bersidang lebih dari dua kali persidangan untuk mengakomodir pemeriksaan alat bukti dari Penggugat dalam pembuktian dalil gugatannya. Oleh karena dalil gugatan diperiksa kembali dalam  persidangan upaya hukum verzet.

Putusan verstek yang mengabulkan hanya mengabulkan gugatan yang “tidak melawan hukum” dan “beralasan”, sehingga pada persidangan panggilan kedua tergugat (sidang kedua) majelis hakim sudah dapat menjatuhkan putusan verstek. Oleh karena pada sidang kesatu, majelis hakim sudah dapat memerintahkan penggugat untuk mengajukan alat bukti untuk membuktikan bahwa gugatannya tidak melawan hukum dan beralasan.

Apabila proses di atas tidak dipatuhi oleh majelis hakim, penggugat maupun tergugat dapat melaporkan majelis hakim dengan aduan “unprofessional conduct”, karena apabila tergugat hadir pada sidang ketiganya, yaitu dalam tahap pemeriksaan alat bukti dari penggugat, dan tergugat mengajukan jawaban dan penggugat menolak pengajuan gugatan dari tergugat, majelis hakim akan dilematis dalam acara persidangan tersebut. Bilamana menerima jawaban tergugat, maka penggugat akan melaporkan majelis hakim, sedangkan apabila jawaban tergugat tidak diterima, maka majelis hakim akan dilaporkan tergugat.

Hal yang paling krisis, bagaimana jika tergugat hadir pada waktu sidang pengucapan putusan? Apakah majelis hakim akan menerima kehadiran tergugat dan jawabannya, atau menolak jawaban tergugat dan pembuktiannya? Sulit bukan bilamana situasinya seperti ini. Sehingga sudah sepatutnya majelis hakim mengikuti dan mematuhi hukum acara  sebagaimana dalam Pasal 125 HIR tanpa perlu menafsirkan lebih lanjut. Seyogyanya majelis hakim hanya mempertimbangkan “bukti permulaan yang cukup” untuk membuktikan bahwa gugatannya tidak melawan hukum dan beralasan, dan putusan verstek dapat dijatuhkan pada hari persidangan kedua (sidang panggilan kedua kepada tergugat).

Thursday, March 21, 2019

BEBERAPA HAL YANG PATUT DIPERHATIKAN DALAM BERACARA DI ERA ECOURT

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik

Domisili Elektronik adalah domisili para pihak berupa alamat surat elektronik dan/atau nomor telepon seluler yang telah terverifikasi.
Domisili Pengguna Terdaftar adalah Domisili Elektronik.
(Catatan: Domisili Elektronik tidak dapat dipersamakan dengan Domisili Hukum)

Layanan administrasi perkara secara elektronik oleh perorangan akan diatur lebih lanjut dalam surat keputusan Ketua Mahkamah Agung.

Pendaftaran perkara oleh Pengguna Terdaftar dapat dilakukan secara elektronik melalui Sistem Informasi Pengadilan pada Pengadilan.

Panggilan menghadiri persidangan terhadap para pihak berperkara dapat disampaikan secara elektronik dengan ketentuan telah ada persetujuan tertulis dari penggugat/pemohon yang melakukan pendaftaran secara elektronik, tergugat/termohon atau pihak lain yang telah menyatakan persetujuannya secara tertulis untuk dipanggil secara elektronik.

Kuasa hukum wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari prinsipal untuk beracara secara elektronik.

Panggilan persidangan yang dikirim secara elektronik ditujukan kepada domisili elektronik para pihak.

Panggilan persidangan  dilakukan kepada pihak yang berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan, panggilan kepadanya dapat dikirim secara elektronik dan surat panggilan tersebut ditembuskan kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat pihak tersebut berdomisili.

Daftar untuk mencatat Pengadilan yang menerima tembusan surat panggilan kepada pihak yang berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan.

Panggilan yang disampaikan secara elektronik merupakan panggilan yang sah dan patut, sepanjang panggilan tersebut terkirim ke Domisili Elektronik dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang.

Salinan putusan/penetapan Pengadilan yang diterbitkan secara elektronik dikirim kepada para pihak paling lambat 14 Hari sejak putusan/penetapan diucapkan.

Informasi perkara yang ada di dalam Sistem Informasi Pengadilan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan buku register sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

Pengadilan yang telah sepenuhnya mengimplementasikan pencatatan dan register perkara secara elektronik dalam Sistem Informasi Pengadilan tidak perlu lagi mencatat informasi dan register perkara secara manual, Ketua/Kepala Pengadilan wajib melakukan audit perkara secara periodik.

Wednesday, March 6, 2019

PENINJAUAN KEMBALI OLEH KUASA TERPIDANA


Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana memuat ketentuan bahwa “bahwa permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau ahli warisnya. Permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.”

Selanjutnya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada angka 3 huruf a: “Permintaan peninjauan kembali diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya ke pengadilan pengaju, kecuali jika Terpidana sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, permintaan peninjauan kembali dan menghadiri persidangan peninjauan kembali serta penandatanganan berita acara pemeriksaan dapat dilakukan oleh Kuasa Terpidana.”

Di tahun 2016 telah ada penegasan kembali bahwa permintaan peninjauan kembali hanya dapat diajukan oleh Terpidana atau ahli warisnya serta Kuasa Terpidana. Adapun pengajuan peninjauan kembali oleh Kuasa Terpidana saja tanpa kehadiran Terpidana hanya dalam kondisi jika Terpidana sedang menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, sedangkan jika Terpidana tidak berada di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara ketentuan tersebut tidak berlaku.

Oleh karena itu, Terpidana yang tidak sedang menjalani pidananya tidak dapat diwakilkan oleh Kuasa Terpidana untuk permintaan pengajuan kembali, bilamana tetap diajukan dapat berakibat hukum bahwa permintaan peninjauan kembali tersebut adalah dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

Sumber:

Thursday, February 28, 2019

KELELAHAN PENEGAKAN HUKUM

Kelelahan (fatigue) adalah suatu kondisi yang memiliki tanda berkurangnya kapasitas yang dimiliki seseorang untuk bekerja dan mengurangi efisiensi prestasi, dan biasanya hal ini disertai dengan perasaan letih dan lemah (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kelelahan)

Sedangkan Penegakan hukum adalah proses pemungsian norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (https://sasmitasmansa.wordpress.com/2011/12/07/pengertian-penegakan-hukum/)

Adapun kelelahan dihubungkan dengan penegakan hukum bisa berarti kurangnya kapasitas pemungsian norma hukum di lingkungan kehidupan masyarakat.

Sebagai contoh pelanggaran lampu lalu lintas oleh pengendara sepeda motor yang dibiarkan oleh polisi lalu lintas dikarenakan jumlah pelanggar lebih banyak dari aparatur polisi, sehingga berkurangnya pemungsian norma hukum lalulintas menjadi lemah.

Kendala demikian dapat teratasi dengan penggunaan teknologi. Hal tersebut sudah ditunjukkan Mahkamah Agung dalam Laporan Tahunan (https://m.detik.com/news/berita/d-4445974/ketua-ma-kinerja-ma-lampaui-semua-target?_ga=2.136732978.322689179.1551257041-2138018779.1551257041)
Yaitu implementasi e-court. Bahwa penegakan hukum bisa disinergikan dengan pemanfaatan teknologi.

Tetapi ranah penegakan hukum tidak terlepas dari kedewasaan hukum warga negaranya dan sikap keberpihakan politik hukum pemimpin negara.

Friday, February 22, 2019

BENTURAN KEPENTINGAN


DASAR HUKUM. Sebagaimana pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Lingkungan Instansi Pemerintah, yaitu Pencanangan Pembangunan Zona Integritas adalah deklarasi/pernyataan dari pimpinan suatu instansi pemerintah bahwa instansinya telah siap membangun Zona Integritas, serta Pencanangan Pembangunan Zona Integritas dilakukan oleh instansi pemerintah yang pimpinan dan seluruh atau sebagian besar pegawainya telah menandatangani Dokumen Pakta Integritas. Penandatanganan dokumen Pakta Integritas dapat dilakukan secara massal/serentak pada saat pelantikan, baik sebagai CPNS, PNS, maupun pelantikan dalam rangka mutasi kepegawaian horizontal atau vertikal. Bagi instansi pemerintah yang belum seluruh pegawainya menandatangani Dokumen Pakta Integritas, dapat melanjutkan/melengkapi setelah pencanangan pembangunan Zona Integritas.
PERMASALAHAN. Apakah ada format Surat/Akta Pernyataan Bebas Benturan Kepentingan dalam rangka Zona Integritas?
PEMBAHASAN. Sebagaimana pada Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2011 tentang Penandatangan Pakta Integritas Bagi Ketua Pengadilan, bahwa Pakta Integritas adalah suatu pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, selain itu sebagaimana pada Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor 59A/Sek/SK/11/2014 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya terdapat suatu kaidah bahwa penanganan benturan kepentingan adalah dengan melaporkan atau memberikan keterangan adanya dugaan benturan kepentingan dalam menetapkan keputusan dan/atau tindakan. Sehingga hal yang terkait dengan surat/akta pernyataan bebas benturan kepentingan tidak diatur tersendiri secara khusus tetapi sudah termasuk dalam bagian dari Pakta Integritas.

Sumber:





Wednesday, February 20, 2019

Hakim Milenial dalam Revolusi Industri 4.0


Generasi milenial adalah kaum muda yang lahir pada era 1980 sampai dengan 2000. Generasi ini memiliki karakter berbeda dengan generasi sebelumnya, karena mereka tidak terlepas dari teknologi digital, seperti penggunaan media sosial Facebook atau pun Whatsapp.
Dalam era digitalisasi yang dihadapi oleh generasi milenial berdampak pada semua peristiwa menjadikan ruang dan waktu terkompresi serta Revolusi Industri 4.0 dapat mengubah cara generasi milenial mendefinisikan ulang siapa kita dan dunia kita berada yang eksistensinya tidak terlepas dari gawai.
Selain itu, generasi milenial eksistensinya diukur dalam tindakan menggunakan alat-alat gawai, yaitu aku bergawai maka aku ada, dan banjirnya informasi yang diperoleh oleh penggunanya. Hal demikian dapat berakibat kepada kedangkalan, ketidakkritisan dan kesesatan berpikir dalam arus derasnya banjir informasi.
Bagaimana dengan hakim milenial dalam Revolusi Industri 4.0?
Hakim yang termasuk dalam generasi milenial adalah wajah peradilan Indonesia masa depan (2035). Pimpinan peradilan masa kini berkewajiban untuk membawa dan mengantarkan hakim milenial pada proses budaya hukum berkeadaban. Hakim milenial yang berkepribadian kritis, berintegritas, dan bertanggungjawab dalam proses hukum kekinian adalah tidak terlepas dari kegunaan filsafat, yang mana hakim tidak bisa memisahkan diri dari kefilsafatan. Adapun, filsafat adalah lahir dari kebutuhan untuk mencari kedalaman dan kejernihan dari fenomena kehidupan (peristiwa hukum).
Loyalitas hakim milenial terhadap tujuan dari hukum adalah untuk selalu terusik dengan situasi riil di mana peristiwa hukum terjadi di lingkungan mereka berada, sedangkan kehadiran dunia digitalisasi mempengaruhi cara kita hidup, cara kita bekerja dan bertindak serta cara kita berinteraksi dengan sesama manusia dan dunia sekitarnya yang dapat menjadikan peristiwa hukum yang berdimensi berbeda dari masa sebelumnya.
Hakim tidak terlepas dari budaya kearifan dan kebijaksanaan berpikir, dan dengan filsafat  dapat menuntun hakim untuk mengerti, memahami, menilai, dan mengambil keputusan yang arif dan bijak dengan melalui penghargaan atau kritik terhadap peristiwa hukum dan fakta hukum yang ada di hadapannya. Adapun, terhadap hakim milenial dalam Revolusi Industri 4.0 wajib berfilsafat untuk membentuk dirinya sebagai hakim Indonesia yang berintegritas dalam oleh pikir, oleh rasa, dan olah aksi. Sehingga hakim Indonesia tidak mudah terkontaminasi oleh virus kedangkalan dan kesesatan berpikir.

Tuesday, January 15, 2019

BUKU KHUSUS DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM


Pada buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku I, Mahkamah Agung RI, Agustus 1993, di halaman 14 dan 29 tercantum: Tugas dan wewenang Ketua Pengadilan adalah “Menyediakan buku khusus untuk anggota Hakim Majelis yang ingin menyatakan berbeda pendapat dengan kedua anggota Hakim Majelis lainnya dalam memutuskan perkara serta merahasiakannya.”
Apakah dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana pada Pasal 14 ayat (2): “Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.” Dan ayat (3): “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang  berbeda wajib dimuat dalam putusan.”, buku khusus tersebut masih berlaku dan dapat diterapkan di peradilan tingkat pertama?

Sebelumnya di tahun 2004 dengan masih berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (sekarang sudah tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009) juga memuat ketentuan yang serupa, yaitu di Pasal 19, sudah ada prinsip setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulisnya dan bilamana ada perbedaan pendapat wajib dimuat dalam putusan. Sehingga dengan adanya ketentuan tersebut sudah dianggap tidak ada lagi rahasia terkait pertimbangan hakim dalam putusannya.

Selayaknya putusan hakim setelah dibacakan di muka persidangan tidak ada lagi rahasia yang harus disembunyikan dari para pencari keadilan. Seyogyanya putusan hakim itu adalah apa yang diucapkannya dan bukanlah apa yang tertera di putusan. Oleh karena itu, sejak tahun 2004, hakim dituntut untuk mempunyai keberanian untuk mengungkapkan pendapat hukumnya dalam menyelesaikan perkara. Bilamana terjadi perbedaan pendapat atau sesuatu hal yang krusial, bukanlah dijadikan alasan untuk menutup perbedaan tersebut dari masyarakat umum, khususnya para pencari keadilan.

Sebab itu, sekarang ini hakim dituntut merubah pandangan/persepsinya, yaitu harus dapat menyampaikan pendapat hukumnya, selain itu juga hakim dianggap sebagai “orang yang mengetahui hukum” ius curia novit.

Apakah dengan demikian, buku khusus tersebut layak untuk dapat dipertahankan keberadaannya di lingkungan peradilan?