Bapak, dicari-cari orang Kejaksaan? kata si
Sulung dengan wajah gemetar.
Ada apa lagi ini! Kemarin sudah dipanggil dan
diperiksa Polisi, sekarang Jaksa. Apa tidak ada kerjaan mereka, tidak lihat
apa, gara-gara ke Polisi, Bapak tidak bisa beli beras! Dengan nada marah sambil
mengusap keringat yang ada di kening.
Narasi di atas hanyalah gambaran dampak apa
yang mungkin ditimbulkan dalam penegakan hukum pidana. Benar, bahwa kewajiban
hukum bagi Warga Negara Indonesia untuk taat kepada hukum, terutama bila
diperlukan sebagai saksi dalam perkara pidana.
Tetapi ada kalanya aparat penegak hukum tidak
melihat kondisi saksi dan korban. Terpenting bagi aparat penegak hukum adalah
sudah menjadi kewajiban bagi saksi dan korban untuk memberikan keteranganya di
hadapan Penyidik ataupun di muka persidangan, dengan menampikkan keadaan dan
kondisi saksi dan korban.
Padahal dengan peran serta saksi dan korban
suatu tindak pidana dapat terungkap, penyelidikan dan penyidikan serta pemeriksaan
di muka persidangan dapat menjadi mudah yang tentunya kerja dan kewajiban
aparat penegak hukum menjadi lebih mudah. Sehingga yang membutuhkan saksi dan
korban adalah aparat penegak hukum itu sendiri, tetapi sebaliknya dalam
kenyataan saksi dan korban hanya dianggap sebagai pelengkap semata dalam
penegakan hukum. Hal ini berakibat perlindungan saksi dan korban dari semua ancaman atau hal-hal yang membahayakan
dirinya tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Perlindungan saksi dan korban seyogyanya berupa
perlindungan tidak diancam oleh pihak lain, penempatan yang aman dan nyaman,
serta dilayani atau dijamin keselamatannya (Prof. Dr. Teguh Soedarsono, Wakil
Ketua LPSK, 2016).
Dengan prinsip berupa aparat penegak hukum yang
membutuhkan saksi dan korban, bukan sesuatu yang tidak berharga dan tidak
dihargai, maka aparat penegak hukum akan memperhatikan aspek-aspek penjaminan seperti:
sarana transportasi, akomdasinya, keamanan dan kenyamanan bagi saksi dan korban.
Dengan demikian budaya hukum penegakan hukum dari law enforcement akan
bergeser ke law compliance (penaatan hukum). Dari sisi saksi yang
memberikan kesaksiannya akan menganggap kesaksiannya sebagai suatu hak dan
bukan sebagai kewajiban hukum.
Dengan demikian, cara-cara konvensional dalam
pemeriksaan saksi dan korban untuk penegakan hukum hendaknya patut dirubah,
sepatutnya memperlakukan saksi dan korban sebagai tamu, dan aparat penegak
hukum wajib pertama kali menunaikan hak-hak saksi dan korban, bukan sebaliknya dengan
mengutamakan pelaksanaan kewajiban dari saksi.
Pelayanan yang layak berupa pemanggilan saksi dan
korban jangan seperti saksi dan korban semata, tetapi sebagai tamu dengan
suasana kebatinan perasaan tenang dan penggantian biaya transportasi serta akomodasi.
Seyogyanya aparat penegak hukum memperhatikan dan memperhitungkan penggantian
waktu saksi dan korban yang terpakai selama pemeriksaan berlangsung di penyelidikan,
penyidikan dan pemeriksaan di muka persidangan. Perhatian kepada sisi kemanusiaan
dari warga negara yang telah membayarkan pajaknya dan kompensasi hilangnya
waktu dapat menjadikan aparat penegak hukum berhati bijaksana. Dari sisi
pengadilan, Hakim yang memiliki hati bijaksana demikian dapat memperlakukan
saksi dan korban sebagai manusia yang wajib dipenuhi pertama hak-haknya dan
bukan semata-mata meminta mereka melaksanakan kewajiban semata.
Perasaan terlindungi dari semua sisi demikian,
dapat tercipta saksi dan korban memberikan keterangan yang bebas dan aman dari
segala bentuk ancaman. Sehingga tidak ada kewajiban memanggil saksi dan korban,
jika memang keadaan tidak aman dalam segala bentuk bagi saksi dan korban.
Aparat penegak hukum dan terutama Hakim yang
memiliki dan menjiwai “hati bijaksana” demikian dapat menciptakan penegakan
hukum dari area law enforcement ke area law compliance.
---000---
No comments:
Post a Comment