Thursday, November 14, 2019

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN PELAYANAN YANG LAYAK, SECURE, DAN SAFETY


Bapak, dicari-cari orang Kejaksaan? kata si Sulung dengan wajah gemetar.
Ada apa lagi ini! Kemarin sudah dipanggil dan diperiksa Polisi, sekarang Jaksa. Apa tidak ada kerjaan mereka, tidak lihat apa, gara-gara ke Polisi, Bapak tidak bisa beli beras! Dengan nada marah sambil mengusap keringat yang ada di kening.

Narasi di atas hanyalah gambaran dampak apa yang mungkin ditimbulkan dalam penegakan hukum pidana. Benar, bahwa kewajiban hukum bagi Warga Negara Indonesia untuk taat kepada hukum, terutama bila diperlukan sebagai saksi dalam perkara pidana.



Tetapi ada kalanya aparat penegak hukum tidak melihat kondisi saksi dan korban. Terpenting bagi aparat penegak hukum adalah sudah menjadi kewajiban bagi saksi dan korban untuk memberikan keteranganya di hadapan Penyidik ataupun di muka persidangan, dengan menampikkan keadaan dan kondisi saksi dan korban.

Padahal dengan peran serta saksi dan korban suatu tindak pidana dapat terungkap, penyelidikan dan penyidikan serta pemeriksaan di muka persidangan dapat menjadi mudah yang tentunya kerja dan kewajiban aparat penegak hukum menjadi lebih mudah. Sehingga yang membutuhkan saksi dan korban adalah aparat penegak hukum itu sendiri, tetapi sebaliknya dalam kenyataan saksi dan korban hanya dianggap sebagai pelengkap semata dalam penegakan hukum. Hal ini berakibat perlindungan saksi dan korban  dari semua ancaman atau hal-hal yang membahayakan dirinya tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum.

Perlindungan saksi dan korban seyogyanya berupa perlindungan tidak diancam oleh pihak lain, penempatan yang aman dan nyaman, serta dilayani atau dijamin keselamatannya (Prof. Dr. Teguh Soedarsono, Wakil Ketua LPSK, 2016).

Dengan prinsip berupa aparat penegak hukum yang membutuhkan saksi dan korban, bukan sesuatu yang tidak berharga dan tidak dihargai, maka aparat penegak hukum akan memperhatikan aspek-aspek penjaminan seperti: sarana transportasi, akomdasinya, keamanan dan kenyamanan bagi saksi dan korban. Dengan demikian budaya hukum penegakan hukum dari law enforcement akan bergeser ke law compliance (penaatan hukum). Dari sisi saksi yang memberikan kesaksiannya akan menganggap kesaksiannya sebagai suatu hak dan bukan sebagai kewajiban hukum.
Dengan demikian, cara-cara konvensional dalam pemeriksaan saksi dan korban untuk penegakan hukum hendaknya patut dirubah, sepatutnya memperlakukan saksi dan korban sebagai tamu, dan aparat penegak hukum wajib pertama kali menunaikan hak-hak saksi dan korban, bukan sebaliknya dengan mengutamakan pelaksanaan kewajiban dari saksi.

Pelayanan yang layak berupa pemanggilan saksi dan korban jangan seperti saksi dan korban semata, tetapi sebagai tamu dengan suasana kebatinan perasaan tenang dan penggantian biaya transportasi serta akomodasi. Seyogyanya aparat penegak hukum memperhatikan dan memperhitungkan penggantian waktu saksi dan korban yang terpakai selama pemeriksaan berlangsung di penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di muka persidangan. Perhatian kepada sisi kemanusiaan dari warga negara yang telah membayarkan pajaknya dan kompensasi hilangnya waktu dapat menjadikan aparat penegak hukum berhati bijaksana. Dari sisi pengadilan, Hakim yang memiliki hati bijaksana demikian dapat memperlakukan saksi dan korban sebagai manusia yang wajib dipenuhi pertama hak-haknya dan bukan semata-mata meminta mereka melaksanakan kewajiban semata.

Perasaan terlindungi dari semua sisi demikian, dapat tercipta saksi dan korban memberikan keterangan yang bebas dan aman dari segala bentuk ancaman. Sehingga tidak ada kewajiban memanggil saksi dan korban, jika memang keadaan tidak aman dalam segala bentuk bagi saksi dan korban.

Aparat penegak hukum dan terutama Hakim yang memiliki dan menjiwai “hati bijaksana” demikian dapat menciptakan penegakan hukum dari area law enforcement ke area law compliance.
---000---






No comments:

Post a Comment