Sebagaimana pada SEMA No. 03
Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, huruf C. Rumusan
Hukum Agama, angka 10: “Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam
gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak
tersebut.”
Terkutip dari muslimpintar.com
(29/08/2019):
Pengertian Hadhanah dan Syarat Hadhanah – Hadhanah berasal dari kata “hidhn” yang artinya bagian samping yang bisa digunakan untuk menggendong anak kecil. Dalam kaitannya dengan kehidupan berumah tangga hadhanah dapat diartikan sebagai istilah dengan pengertian mengasuh, memelihara, dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz.” Dalam artikel tersebut tertulis bahwa “1. Jika anak masih kecil maka ibunya yang lebih berhak untuk mengasuh dan memeliharanya; 2. Dan Jika ibunya menikah lagi, maka hak untuk mengasuh berpindah kepada bapaknya. Selain itu walaupun ibu berhak untuk mengasuh, menjaga dan mendidik anak-anaknya tetapi nafkah kebutuhan pokok dan materi anak tersebut merupakan kewajiban bapaknya. Apabila ibunya tidak sanggup untuk menjaga, memelihara dan mendidiknya, maka bapaknya berhak mengambil alih urusan hadhanah. Tapi jika keduanya tidak mampu untuk menjaga, memelihara dan mendidik anaknya, maka urusan hadhanah diberikan kepada keluarga yang sudah dewasa atau hadhanah yang telah mencapai usia tujuh tahun baik laki-laki maupun perempuan menurut madzhab Syafi’i diberikan hak untuk memilih ikut ibunya atau ikut ayahnya.
Adapun Di dalam pasal 105 huruf
(a) Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No.1 Tahun 1991 menyatakan “Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya”.
Dengan demikian, bila tidak diajukan
dalam gugatan/permohonan, maka
secara hukum pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua
belas) tahun jatuh kepada ibunya.
Persoalan timbul, bilamana gugatan diajukan dengan
alasan hukum bahwa istri (ibu dari anak yang belum mumayyiz atau belum berumur
12 (dua belas) tahun) telah berpindah agama. Hal demikian belum diakomodir
dalam Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tersebut.
Oleh karena itu, menjadi tugas Hakim di Peradilan
Agama untuk menyimpangi Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar tersebut. Dengan mengambil
pendapat dari Korik Agustian (Hakim
Pengadilan Agama Sengeti), bahwa:
Pada prinsipnya aturan perundang-undangan di Indonesia mengenai hak hadhanah adalah ayah dan ibu mempunyai hak yang setara untuk memelihara, mengasuh, membiayai dan mendidik anak-anaknya.
Apabila terjadi sengketa mengenai hak hadhanah, pemberian hak hadhanah harus lebih mengutamakan kepentingan anak, bukan kepentingan ayah dan ibunya.
Batasan umur seorang anak telah disebut mumayyiz, mayoritas ulama Mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali berpendapat minimal telah mencapai usia 7 tahun bukan 12 tahun.
Selain itu, untuk tidak melanggar dari Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar tersebut, bilamana Hakim Agama menemukan permasalahan: “bila
tidak diajukan dalam gugatan/permohonan”, Hakim Agama dapat menanyakan kepada pihak Penggugat/Pemohon
tentang perbaikan surat gugatan atau permohonan yang terkait dengan “hak hadhanah”, pengasuhan anak jatuh kepada pihak siapa.
Sumber:
Korik Agustian, “TINJAUAN ANALITIS PASAL 105 KOMPILASI HUKUM ISLAM
TENTANG HAK HADHANAH DAN BATASAN UMUR
MUMAYYIZ”, (Hakim Pengadilan Agama Sengeti), www.pta-jambi.go.id, diakses tanggal 30
Agustus 2019
No comments:
Post a Comment