Monday, January 29, 2018

PELANGGARAN TENAGA HONORER DI PENGADILAN



Tenaga honorer sebagai tenaga pembantu yang terdapat di pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia tidak dapat terlepas dari kesibukan aktivitas kedinasan keseharian di pengadilan. Tenaga honorer sebagai “wong cilik” yang mempunyai peranan penting yang tidak dapat dianggap remeh oleh pengguna dan pemanfaat pelayanan pengadilan.

Tidak sering kali pengguna dan pemanfaat pelayanan pengadilan dapat terbantukan oleh tenaga honorer dan dapat juga tenaga honorer melakukan perbuatan yang dalam menurunkan wibawa dan martabat lembaga  peradilan dan perbuatan tercela dalam pemberian pelayanan peradilan pada masyarakat pencari keadilan.

Thursday, January 11, 2018

KORBAN MATI DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS

Commuter yang bepergian tiap hari dengan menggunakan sarana dan prasarana jalan dalam lalu lintas keseharian tidak ada kalanya bersinggungan dengan kecelakaan lalu lintas (laka lantas) yang tidak sedikit mengakibatkan orang meninggal dunia/mati.

Di Tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mana pemerintah menganggap lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagian bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum.

Tetapi bila terkait dengan laka lantas yang mengakibatkan korban meninggal dunia/mati, maka tidak sedikit bersinggungan dengan pengadilan negeri untuk mengadili perkara laka lantas tersebut. Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tidak memberikan definisi tentang korban meninggal dunia/mati. Di lain peraturan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan di Pasal 93 ayat (3): “Korban mati sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.”

Peraturan Pemerintah 43/1993 memberikan definisi jelas apabila terkait dengan korban meninggal dunia/mati, sedangkan pada Undang-Undang 22/2009 tidak memberikan definisi secara jelas apa  yang dimaksud dengan korban mati/meninggal dunia.

Bila perkara laka lantas yang mengakibatkan orang meninggal dunia, maka sikap hakim dalam pembuktian terhadap korban yang meninggal dunia harus diberikan pembatasan/penilaian pembuktian secara jelas, yaitu sebab-akibat kematian dan waktu kematian.

Penulis menilai bahwa Undang-Undang Nomor 22/2009 masih belum mencabut  Peraturan Pemerintah Nomor 43/1993, karena di Ketentuan Penutup pada Pasal 318 Undang-Undang Nomor 22/2009: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3840) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.”

Oleh karena itu, penulis menilai bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 43/1993 adalah tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan yang baru, maka norma tentang korban meninggal dunia/mati masih dapat memberlakukan peraturan pemerintah tersebut.

Sehingga hakim dalam pertimbangan hukum di putusan pidananya harus berhati-hati untuk mempertimbangkan “sebab-akibat kematian” dan “waktu pasti kematian”. Karena korban mati dalam laka lantas adalah: “korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut”, bila terjadi di luar hal tersebut maka dipastikan bahwa hal tersebut bukanlah korban mati/meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas.



Wednesday, January 10, 2018

PEMERIKSAAN ULANG KARENA MAJELIS BERUBAH

Di tahun 1981, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Mr. R. Wirjono Prodjodikoro menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1961 perihal cara pemeriksaan perkara pidana yang dilanjutkan oleh Hakim lain. SEMA ini diterbitkan karena adanya kondisi di Pengadilan Negeri yang mana bilamana ada hakim yang berhalangan melanjutkan pemeriksaan pidana, maka hakim lain yang menggantikannya melanjutkan pemeriksaan dengan memulai lagi pemeriksaan tersebut dari permulaan, yakni dengan mengulangi pemeriksaan terdakwa dan saksi-saksi yang telah diperiksa. Hal tersebut menurut Ketua MARI menghambat lancarnya pemeriksaan perkara. Sehingga Ketua MARI pada waktu itu menginstruksikan kepada hakim tingkat pertama, apabila seorang hakim melanjutkan pemeriksaan perkara yang telah dimulai oleh hakim lain, maka cukuplah apabila dalam pemeriksaan lanjtuan itu dibacakan saja berita acara dari pemeriksaan terdahulu. Tetapi apabila dalam pemeriksaan lanjutan ini hakim yang melakukan pemeriksaan itu berpendapat bahwa pemeriksaan yang terdahulu belum cukup atau lengkap, sehingga hakim itu merasa perlu untuk mendengar lagi terdakwa atau beberapa orang saksi, maka hakim itu penuh berwenang untuk bertindak demikian.

Setelah berjalannya waktu, di tahun 1981 pemerintah mengundangkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981. Selanjutnya mengacu kepada Pasal 198: (1) “Dalam hal seorang hakim atau penuntut umum berhalangan, maka ketua pengadilan atau pejabat kejaksaan yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang berhalangan tersebut.” (2) “Dalam hal penasihat hukum berhalangan, ia menunjuk penggantinya dan apabila pengganti ternyata tidak ada atau juga berhalangan, maka sidang berjalan terus.”

Dalam pengaturan di KUHAP terlihat dengan jelas bahwa norma pemeriksaan lanjutan belum diatur secara jelas, dan ketentuan SEMA 2/1961 tersebut belum dicabut, maka penulis berkesimpulan bahwa norma pemeriksaan lanjutan sebagaimana dalam SEMA 2/1961 dapat diberlakukan apabila ada salah satu anggota majelis hakim yang berhalangan.

Dengan catatan tambahan, untuk sahnya pemeriksaan lanjutan tersebut ada baiknya bagi majelis hakim terutama untuk Ketua Majelis Hakim membuatkan berita acara persidangan pemeriksaan lanjutan tersebut, dan tidak cukup hanya untuk mencatatkan di berita acara persidangan lanjutan adanya perubahan majelis. Seyogyanya cukup untuk menerangkan bahwa “telah dibacakan berita acara dari pemeriksaan terdahulu” dalam berita acara persidangan tersendiri.