Tenaga honorer
sebagai tenaga pembantu yang terdapat di pengadilan-pengadilan seluruh Indonesia
tidak dapat terlepas dari kesibukan aktivitas kedinasan keseharian di
pengadilan. Tenaga honorer sebagai “wong
cilik” yang mempunyai peranan penting yang tidak dapat dianggap remeh oleh
pengguna dan pemanfaat pelayanan pengadilan.
Tidak sering kali
pengguna dan pemanfaat pelayanan pengadilan dapat terbantukan oleh tenaga
honorer dan dapat juga tenaga honorer melakukan perbuatan yang dalam menurunkan
wibawa dan martabat lembaga peradilan
dan perbuatan tercela dalam pemberian pelayanan peradilan pada masyarakat
pencari keadilan.
Sehingga dapat
timbul pertanyaan, apakah pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga honorer dapat
diadukan oleh masyarakat pencari keadilan?
Sebagaimana pada Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pedoman Penanganan Pengaduan (Whistleblowing System) di Mahkamah Agung
dan Badan Peradilan yang Berada Dibawahnya, bahwa yang dimaksud dengan Pengaduan
adalah laporan yang mengandung informasi atau indikasi terjadinya pelanggaran terhadap
Kode Etik dan pedoman perilaku Panitera dan Jurusita, Pelanggaran terhadap Kode
Etik dan kode perilaku pegawai Aparatur Sipil Negara, Pelanggaran hukum acara
atau Pelanggaran terhadap disiplin Pegawai Negeri Sipil atau peraturan disiplin
militer, maladministrasi dan pelayanan publik dan/atau Pelanggaran pengelolaan
keuangan dan Barang Milik Negara. Adapun yang dimaksud dengan Pelanggaran
adalah sikap, ucapan dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang Hakim atau
pegawai Aparatur Sipil Negara di lingkungan badan peradilan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, Kode Etik dan pedoman perilaku,
serta petunjuk atau pedoman pelaksanaan tugas.
Sehingga dari pengaturan
pada Perma tersebut, dapat disimpulkan bahwa tenaga honorer tidak sebagai
bagian yang dapat dijadikan subyek dan obyek pengaduan. Apakah dengan demikian
tenaga honorer tidak dapat diadukan bila terjadi yang dalam menurunkan wibawa dan
martabat lembaga peradilan dan perbuatan
tercela dalam pemberian pelayanan peradilan pada masyarakat pencari keadilan?
Pertanyaan
demikian sering kali menjadi bahan diskusi bagi sesama pegawai di lingkungan
peradilan. Tetapi bila dikembalikan kepada Perma tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa sudah jelas bahwa tenaga honorer tidak dapat diadikan subyek dan obyek
dalam pengaduan dari masyarakat pencari keadilan.
Bagaimana yang
harus dilakukan oleh pimpinan peradilan bilamana hal tersebut terjadi?
Langkah yang
dapat dilakukan adalah memberhentikan tenaga honorer yang melakukan perbuatan
tercela atau melaporkan kepada pihak kepolisian bilamana terjadi tindak pidana.
No comments:
Post a Comment