Tuesday, September 9, 2025

Menjaga Batin di Tengah Mutasi: Peta Adaptasi Mental Hakim

Kebijakan terbaru Ketua Mahkamah Agung (MA) terkait mutasi dan promosi hakim saat ini berpedoman pada Keputusan Ketua MA Nomor 133/KMA/SK.KP1.1.2/VII/2025 yang ditetapkan pada 30 Juli 2025.

Pokok kebijakan tersebut adalah perubahan atas Keputusan Ketua MA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim pada empat lingkungan peradilan. Perubahan tersebut memperkuat prinsip sistem merit, yakni promosi dan mutasi dilakukan berdasarkan kompetensi, kinerja, integritas, dan kebutuhan organisasi, bukan semata pertimbangan administratif atau senioritas 

Akan tetapi, mutasi atau tour of duty bagi seorang hakim sering dilihat dari dua aspek: ada yang melihatnya sebagai tantangan yang memperkaya, ada pula yang merasakannya sebagai beban yang menguji. 

Kenyataannya, penempatan di daerah baru, yang jauh dari zona nyaman seperti keluarga besar, tanah kelahiran, dapat membawa perubahan besar, terutama berimbas kepada ritme kerja maupun pada kesehatan mental.

Ada pertanyaan terbetik di hati sanubari hakim, bagaimana seorang hakim yang baru dilantik dan disumpah ataupun yang sudah senior dapat menjaga suasana kebatinan dan tetap menjalankan tugas dengan integritas di tengah perubahan tempat penugasan/kedinasan?

Bolehlah, penulis memberikan pengalaman selama beberapa tahun diberikan amanah menjadi hakim di beberapa daerah penugasan.

Pra-Penempatan: Penyiapan Diri Sebelum Berangkat

Sebelum kaki melangkah ke daerah baru, persiapan mental sama pentingnya dengan persiapan logistik.

  • Bangun mindset positif: Pandang mutasi sebagai amanah dan kesempatan belajar.
  • Kumpulkan informasi: Pelajari budaya, adat, dan potensi perkara di wilayah penugasan.
  • Siapkan keluarga: Diskusikan strategi adaptasi atau komunikasi jarak jauh.
  • Bangun jejaring awal: Hubungi rekan atau pejabat setempat sebelum tiba.

90 Hari Pertama: Tahapan Adaptasi Intensif

Tiga bulan pertama adalah masa krusial.

  • Observasi dan belajar: Dengarkan lebih banyak, amati pola kerja dan budaya kantor.
  • Bangun relasi sehat: Jalin hubungan profesional tanpa mengorbankan independensi.
  • Tetapkan ritual stabilisasi: Ibadah, olahraga, dan refleksi harian membantu menjaga keseimbangan.
  • Kelola stres: Gunakan teknik pernapasan, journaling, atau mindfulness.

Tahapan Konsolidasi: Menemukan Ritme Kerja

Setelah adaptasi awal, saatnya membangun ritme yang stabil.

  • Efisiensi kerja: Terapkan SOP pribadi untuk sidang, minutasi, dan arsip digital.
  • Keseimbangan hidup: Sisihkan waktu untuk hobi atau kegiatan sosial.
  • Refleksi berkala: Evaluasi pencapaian dan tantangan setiap tiga bulan.
  • Penguatan spiritual: Jadikan nilai keadilan dan amanah sebagai sumber energi batin.

Tahapan Legacy: Meninggalkan Jejak Positif

Mutasi bukan sekadar pindah tugas, tapi juga kesempatan meninggalkan warisan profesional.

  • Transfer pengetahuan: Buat panduan atau best practice untuk penerus.
  • Jaga jaringan: Pertahankan komunikasi dengan jejaring lama dan baru.
  • Refleksi akhir: Dokumentasikan pelajaran hidup dan profesional dari penugasan.

Dengan tahapan-tahapan tersebut, mutasi tidak harus menjadi ancaman bagi kesehatan mental hakim. Dengan persiapan yang matang, strategi adaptasi yang tepat, dan dukungan yang memadai, penugasan di daerah baru justru bisa menjadi batu loncatan untuk tumbuh, baik sebagai penegak hukum maupun sebagai manusia.

Kuncinya ada pada kesadaran diri, sistem yang terstruktur, dan komitmen menjaga integritas. Karena pada akhirnya, seorang hakim tidak hanya mengadili perkara, tetapi juga mengelola batinnya sendiri agar tetap jernih dalam menegakkan keadilan.

Akhir kata, KEDISIPLINAN PERBUATAN dari hal-hal tersebut yang dapat menjaga kesehatan batin dan mentalitas hakim. Karena mutasi adalah hal yang tidak dapat dihindarkan di dunia profesi hakim.

***Artikel ini disusun dengan bantuan teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai mitra kreatif penulis, dalam tahap perumusan ide, penyusunan kerangka, dan/atau penyuntingan bahasa. Seluruh isi telah ditinjau, diverifikasi, dan disesuaikan oleh penulis untuk memastikan akurasi, relevansi, dan kesesuaian dengan standar etika profesi. Hak cipta dan tanggung jawab penuh atas isi artikel ini berada pada penulis.***

Wednesday, July 30, 2025

Kenapa hari Kamis digunakan sebagai hari sidang pertama perkara perdata?

Sebagaimana pada Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat, pada angka 11 dibunyikan: "Bahwa panggilan harus dikirimkan melalui surat tercatat paling lambat 6 (enam) hari kalender sebelum sidang dan diterima secara patut oleh para pihak paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum sidang, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan."

Hal ini juga dipengaruhi, bilamana tahap prosedur di Pengadilan Negeri mulai dari Majelis Hakim dan Jurusita terlambat menetapkan Penetapan Hari Sidang, atau ada kendala teknis lainnya, misalkan baru hari Jumat prosedur pengirim dilaksanakan, maka 6 (enam) hari Kalender jatuh pada hari Kamis, dan ketentuan 3 (hari) kerja sebelum sidang juga jatuh pada hari Kamis, dengan catatan bahwa surat tercatat diterima secara sah pada hari Jumat tersebut.

Oleh karena itu, Majelis Hakim akan menetapkan Penetapan Hari Sidang Pertama adalah pada hari Kamis, hal ini untuk mentaati surat edaran tersebut.