Thursday, February 11, 2021

Penggajian Antara Hakim Pajak dengan Hakim Peradilan lainnya – Bagian Pertama

Ketertarikan Penulis pada pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 23 P/HUM/2018 tanggal 10 Desember 2018, pada pokoknya:

Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 19 dan Pasal 31 UU Kekuasaan Kehakiman Juncto Pasal 122 huruf e UU ASN, Hakim adalah Pejabat Negara yang berbeda dengan ASN, baik itu PNS maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Sesuai dengan fungsinya, Hakim adalah pelaku fungsi ajudikasi yang sangat berbeda dengan PNS sebagai pelaksanan fungsi pelayanan publik. Fungsi ajudikasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam disertai dengan ketrampilan khusus. Bahkan Hakim harus selalu meningkatkan pengetahuannya guna mengantisipasi perkembangan hukum dan kemasyarakatan sebagai dasar putusannya;

Bahwa materi muatan Objek Permohonan I menyamakan gaji pokok Hakim dengan gaji pokok PNS. Dengan pengaturan norma seperti itu berarti menyamakan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaan Hakim dengan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaan PNS. Padahal, Hakim adalah “Pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman), sedangkan PNS “melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah” [Pasal 9 ayat (1) UU ASN], sehingga beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaan Hakim berbeda dengan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaan PNS. Oleh karena itu, jabatan Hakim yang berbeda dengan PNS harus diberlakukan secara berbeda pula. Hal ini sejalan dengan prinsip perlakuan sama dalam kondisi yang sama (treat like cases alike), perlakukan yang beda dalam kondisi yang berbeda (treat different cases differently).

 

Penulis menggarisbawahi tentang:

Oleh karena itu, jabatan Hakim yang berbeda dengan PNS harus diberlakukan secara berbeda pula. Hal ini sejalan dengan prinsip perlakuan sama dalam kondisi yang sama (treat like cases alike), perlakukan yang beda dalam kondisi yang berbeda (treat different cases differently).”

 

Selanjutnya dalam pertimbangan:

Bahwa kata “dapat” dan frasa “sesuai dengan kemampuan keuangan negara” sebagaimana diatur dalam Objek Permohonan II, serta pengaturan Zona 1 pada Lampiran III sebagaimana dituangkan dalam Objek Permohonan IV, merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena penentuan kondisi kemampuan keuangan negara dan penentuan Zona pada Lampiran III sesuai dengan tingkat kemahalan di setiap wilayah provinsi di Indonesia merupakan kewenangan Termohon tanpa boleh dicampuri oleh lembaga yudisial selama tidak bertentangan dengan rasionalitas;

 

Penulis menggarisbawahi tentang:

karena penentuan kondisi kemampuan keuangan negara dan penentuan Zona pada Lampiran III sesuai dengan tingkat kemahalan di setiap wilayah provinsi di Indonesia merupakan kewenangan Termohon tanpa boleh dicampuri oleh lembaga yudisial selama tidak bertentangan dengan rasionalitas;:

 

Terhadap kalimat yang digarisbawahi tersebut dapat disimpulkan bahwa:

  1. Hakim adalah profesi/jabatan yang berbeda dari ASN ataupun jabatan kenegaraan lainnya;
  2. Eksekutif mempunyai kewenangan keuangan yang tidak boleh dicampuri oleh Mahkamah Agung;
  3. Ukuran “Rasionalitas” tidak memiliki patokan yang jelas dan pasti, selama tidak ditentukan dalam undang-undang.

 

Adapun penggalian lebih lanjut  pada angka 1 akan dituangkan dalam  rubrik selanjutnya.

Sedangkan pada angka 2 dan 3, Penulis mempunyai kegelisahan, bahwa benar eksekutif mempunyai kewenangan keuangan yang tidak boleh dicampuri oleh Yudikatif dan Eksekutif mempunyai rasionalitas dalam penganggaran yang terkait dengan Yudikatif.

Sebagai Negara Hukum dan Trias Politica tidak murni, hal tersebut dapat menjadikan Mahkamah Agung tersandera dalam menjalankan fungsi yudikatif, sehingga kepastian anggaran harus tercantum dalam UUD Tahun 1945 atau Undang-Undang tersendiri terkait kemandirian anggaran, dalam bentuk jumlah yang pasti (misalkan dalam anggaran pendidikan 25% dari APBN). Sedangkan rasionalitas dengan membandingkan unsur lain dapat mengakibatkan ketidakpastian anggaran, selama pembandingnya tidak ditetapkan dengan pasti. Adapun dengan persentase mempunyai perbandingan yang tetap sehingga menjamin kepastian anggaran bagi lembaga yudikatif.

Penggiat hukum harus sadar bahwa benteng terakhir penegakan hukum adalah pada lembaga yudikatif, negara hukum NKRI akan tetap berdiri dan kesejahteraan rakyat Indonesia akan terwujud selama penegakan hukum berjalan adil. Keadilan hanya dapat diberikan apabila para penegak hukum mendapatkan kepastian dan jaminan kesejahteraan. Terutama pada korps hakim di lembaga yudikatif harus diberikan kepastian dan jaminan kesejahteraan, tidak tersandera pada aspek keuangan yang tidak boleh dicampuri oleh yudikatif dan eksekutif mempunyai rasionalitas dalam anggaran yang terkait dengan yudikatif.

Semoga tulisan ini sebagai sumbangsih pemikiran dalam perjuangan KEMANDIRIAN ANGGARAN Mahkamah Agung.

 

(tulisan berikutnya  mengulas tema PENGGAJIAN HAKIM PAJAK DAN HAKIM PERADILAN LAINNYA terkait dengan “1. Hakim adalah profesi/jabatan yang berbeda dari ASN ataupun jabatan kenegaraan lainnya;”)

 

No comments:

Post a Comment