Kutipan dari
Majalah Komisi Yudisial: Media Informasi Hukum dan Peradilan, Edisi Juli-September
2017, halaman 5, yaitu: “Faktanya, ada beberapa hakim yang dilaporkan ke KY
terkait dengan hakim yang mengomentari atau putusan hakim lain.” Dan “Jaja juga
mengingatkan agar hakim berhati-hati dalam berbicara kepada media. Sebab, akan
menjadi pesoalan serius jika terjadi perbedaan pemahaman antara yang diucapkan
narasumber dengan yang ditangkap media.”
Di halaman 6,
tercetak: “Di media sosial seperti facebook atau twitter, Jaja
berpesan kepada para hakim agar hati-hati jika menulis komentar atau menampilkan
foto.” Selain itu juga tertulis: “Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA)
Nugroho Setiadji sependapat dengan Jaja Ahmad Jayus. Nugroho mengibaratkan,
hakim adalah manusia biasa yang dikarantina. Sehingga, hakim harus siap untuk membatsi
pergaulan dan menghindari pihak-pihak yang berpotensi memengaruhi perkara yang tengah
ditanganinya. Meskipun, pihak-pihak tersebut adalah teman karib saat di sekolah
atau bahkan keluarganya sendiri.”
Adapun di
halaman 7: “Dia mencotohkan, ada seorang hakim berkomentar di media sosial
terkait pembubaran salah satu ormas Islam. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Badan Pengawasan, yang bersangkutan tidak sasdar bahwa pendapat yang disampaikan
dalam media sosial akan berdampak pada pelanggaran KEPPH.” Di paragraf
berikutnya: “Diperbolehkan memberikan pendapat, namun sebaiknya jangan
disampaikan dalam media sosial. Pendapat tersebut bisa menjadi bahan diskusi dengan
teman. Bahwa kasus ini tidak hanya terjadi pada satu hakim saja, namun terjadi
di hakim tingkat pertama dan tingkat banding.”
Selain itu pada
halaman 8, tercetak: “Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum,
Peneltian dan Pengembangan KY Sumartoyo mengatakan, hakim mempunyai predikat silent
corps, di mana hakim harus diam terhadap segala pendapat yang diberikan.
Bahkan, hakim dilarang mengomentari putusannya sendiri.”
Bagaimana dengan
advokasi terhadap hakim, dan di majalah tersebut juga mewartakan bahwa: “Majelis
Hakim berkenan menerima orang-orang yang berpendapat negatif tersebut namun
tidak dapat menemui secara langsung, tapi hanya mengutus bagian humas untuk menemui
orang-orang tersebut, di mana hakim telah proporsional dan profesional dalam
memutus perkara.”
Di paragraf
berikutnya: “Menurut Sumartoyo, ada beberapa kewenangan KY lainnya yang belum
diketahui para hakim, salah satunya advokasi kepada hakim yang mengalami
tindakan kekerasan atau intimidasi. Artinya, jika ada hal-hal yang mengganggu
perasaan dan pikiran selama menjalankan tugas dan tanggung jawabnya selaku
hakim di pengadilan, bisa melaporkannya ke KY. Jika sudah cukup informasi KY
akan melakukan tindakan advokasi. ‘Aparat Kepolisian telah mendukung tugas advokasi
hakim 98% dengan melakukan MoU dengan KY dan akan ditindaklanjuti di seluruh Polda
di seluruh wilayah sebagai tindaklanjut MoU dengan sebagai pendukung tugas
advokasi KY terhadap para hakim,’ ungkapnya.”
Dari beberapa
kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
Pertama, hakim
adalah silent corps yang mana lebih bijaksana untuk hakim diam terhadap
segala pendapat yang ada di dalam dan luar media sosial, juga tidak boleh berkomentar
terhadap putusannya dan putusan hakim lainnya.
Kedua, ada
advokasi kepada hakim yang mengalami tindakan indikasi kekerasan dan intimidasi
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi peradilan.
Semoga tulisan
ini dapat memberikan pencerahan.
No comments:
Post a Comment