Tuesday, June 9, 2020

ADVOKASI KEPADA HAKIM (SILENT CORPS) DI DALAM DAN LUAR MEDIA SOSIAL


Kutipan dari Majalah Komisi Yudisial: Media Informasi Hukum dan Peradilan, Edisi Juli-September 2017, halaman 5, yaitu: “Faktanya, ada beberapa hakim yang dilaporkan ke KY terkait dengan hakim yang mengomentari atau putusan hakim lain.” Dan “Jaja juga mengingatkan agar hakim berhati-hati dalam berbicara kepada media. Sebab, akan menjadi pesoalan serius jika terjadi perbedaan pemahaman antara yang diucapkan narasumber dengan yang ditangkap media.”


Di halaman 6, tercetak: “Di media sosial seperti facebook atau twitter, Jaja berpesan kepada para hakim agar hati-hati jika menulis komentar atau menampilkan foto.” Selain itu juga tertulis: “Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Nugroho Setiadji sependapat dengan Jaja Ahmad Jayus. Nugroho mengibaratkan, hakim adalah manusia biasa yang dikarantina. Sehingga, hakim harus siap untuk membatsi pergaulan dan menghindari pihak-pihak yang berpotensi memengaruhi perkara yang tengah ditanganinya. Meskipun, pihak-pihak tersebut adalah teman karib saat di sekolah atau bahkan keluarganya sendiri.”

Adapun di halaman 7: “Dia mencotohkan, ada seorang hakim berkomentar di media sosial terkait pembubaran salah satu ormas Islam. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Pengawasan, yang bersangkutan tidak sasdar bahwa pendapat yang disampaikan dalam media sosial akan berdampak pada pelanggaran KEPPH.” Di paragraf berikutnya: “Diperbolehkan memberikan pendapat, namun sebaiknya jangan disampaikan dalam media sosial. Pendapat tersebut bisa menjadi bahan diskusi dengan teman. Bahwa kasus ini tidak hanya terjadi pada satu hakim saja, namun terjadi di hakim tingkat pertama dan tingkat banding.”

Selain itu pada halaman 8, tercetak: “Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Peneltian dan Pengembangan KY Sumartoyo mengatakan, hakim mempunyai predikat silent corps, di mana hakim harus diam terhadap segala pendapat yang diberikan. Bahkan, hakim dilarang mengomentari putusannya sendiri.”

Bagaimana dengan advokasi terhadap hakim, dan di majalah tersebut juga mewartakan bahwa: “Majelis Hakim berkenan menerima orang-orang yang berpendapat negatif tersebut namun tidak dapat menemui secara langsung, tapi hanya mengutus bagian humas untuk menemui orang-orang tersebut, di mana hakim telah proporsional dan profesional dalam memutus perkara.”

Di paragraf berikutnya: “Menurut Sumartoyo, ada beberapa kewenangan KY lainnya yang belum diketahui para hakim, salah satunya advokasi kepada hakim yang mengalami tindakan kekerasan atau intimidasi. Artinya, jika ada hal-hal yang mengganggu perasaan dan pikiran selama menjalankan tugas dan tanggung jawabnya selaku hakim di pengadilan, bisa melaporkannya ke KY. Jika sudah cukup informasi KY akan melakukan tindakan advokasi. ‘Aparat Kepolisian telah mendukung tugas advokasi hakim 98% dengan melakukan MoU dengan KY dan akan ditindaklanjuti di seluruh Polda di seluruh wilayah sebagai tindaklanjut MoU dengan sebagai pendukung tugas advokasi KY terhadap para hakim,’ ungkapnya.”

Dari beberapa kutipan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

Pertama, hakim adalah silent corps yang mana lebih bijaksana untuk hakim diam terhadap segala pendapat yang ada di dalam dan luar media sosial, juga tidak boleh berkomentar terhadap putusannya dan putusan hakim lainnya.

Kedua, ada advokasi kepada hakim yang mengalami tindakan indikasi kekerasan dan intimidasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi peradilan.

Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan.



No comments:

Post a Comment