Thursday, January 23, 2020

HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN: PEMBAYARAN KEWAJIBAN SUAMI


Dengan diundangkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum pada tanggal 4 Agustus 2017, sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, dalam hukum positif dikenal adanya Perempuan Berhadapan dengan Hukum, yaitu: “Perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.”

Selain itu diperkenalkan istilah Gender, yaitu: “Konsep yang mengacu pada peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.”

Juga berbeda persepsi kesetaraan gender yang telah ada di masyarakat dengan di Peraturan Mahkamah Agung tersebut, dalam Peraturan Mahkamah Agung ini dikenalkan istilah Kesetaraan Gender sebagai “kesamaan dan keseimbangan kondisi antara laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi di berbagai bidang.”


Adapun Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Sehingga peraturan ini memperkenalkan keadilan bukan lagi hanya dilihat dari satu sisi saja, yaitu perempuan saja tetapi sudah melihat dua sisi dari laki-laki dan perempuan.

Setelah diundangkan Peraturan Mahkamah Agung tersebut, kembali di tahun 2019 Mahkamah Agung RI mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, pada huruf C. Rumusan Hukum Kamar Agama, angka 1. Hukum Keluarga, huruf b:
Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara Cerai Gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut: “… yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan.
Sedangkan pada huruf c:

Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, pembagian gajinya harus dinyatakan dalam amar putusan secara declaratoir yang pelaksanaannya melalui instansi yang bersangkutan.

Dengan terobosan pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai dan bagi Pegawai Negeri Sipil pembagian gajinya harus dinyatakan dalam amar putusan secara declaratoir adalah suatu langkah maju dalam perlindungan hak perempuan (istri)  yang tidak seimbang dengan laki-laki (suami) sebagai wujud keseteraan gender.

Sebelumnya, langkah tersebut sulit diambil dan direalisasikan oleh pihak perempuan (janda), tetapi dengan adanya ketentuan akta cerai baru bisa diserahkan kepada mantan suami setelah pembayaran kewajiban kepada mantan istrinya dibayarkan.

Dengan adanya kedua peraturan tersebut, maka hak-hak perempuan muslimah di peradilan agama sudah dapat terakomodir dan terlindungi, sehingga keadilan gender sudah terasa di lingkungan peradilan agama.

Hal demikian bisa juga diterapkan di lingkungan peradilan umum (pengadilan negeri) dengan mengadopsi kaidah hukum di Rumusan Hukum Kamar Agama dengan beberapa modifikasi, yaitu pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian yang dibayar sebelum Tergugat mengambil “Salinan Putusan” dan bukan Akta Cerai, karena Akta Cerai dikeluarkan oleh Dinas Catatan Sipil.

Sedangkan kaidah hukum untuk pembagian gaji bagi suami yang Pegawai Negeri Sipil dapat diterapkan sepenuhnya di lingkungan peradilan umum sebagaimana yang sudah diterapkan di peradilan agama. Sehingga dengan demikian maka keseteraan gender di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat terealisasi.

Tag/label: kesetaraan, gender, konvensi, ratifikasi, perma, sema, rumusan hukum, kamar agama, mahkamah agung, cerai, suami, istri, hukum

No comments:

Post a Comment