Wednesday, January 22, 2020

PENGADILAN AGAMA TERDEPAN UNTUK PERLINDUNGAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK


Kewajiban bagi suami sebagai kelapa keluarga dalam rumah tangga untuk bertanggung jawab dalam pemenuhan semua kebutuhan nafkah lahir dan batin bagi anggota keluarganya, seperti kebutuhan pakaian, nafkah, tempat tinggal serta biaya bagi anak-anaknya, guna tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahman.

Namun demikian, jauh api dari panggang, adakalanya suami lalai dalam pemenuhan nafkah lahir dan batin kepada istri dan anaknya karena alasan-alasan tertentu baik disengaja maupun tidak disengaja. Bagi suami yang tidak mampu menafkahi istri bisa dianggap berhutang dan istri berhak menuntut pengembalian atas nafkah madliyah (nafkah lampau).


Oleh karena ikatan perkawinan menuntut adanya hak dan kewajiban pada diri suami dan istri, yaitu istri berhak menerima nafkah disebabkan adanya akad nikah yang sah dilakukan oleh suami istri. Istri dianggap telah terikat dengan segala hak-hak suaminya dan haram dinikahi oleh orang lain, sehingga ikatan tersebut menyebabkan istri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya sendiri, karena itu istri berhak untuk mendapatkan nafkah dari orang yang telah mengikatnya (suaminya).

Praktek hukum keseharian sebelumnya, jika terjadi istri diceraikan oleh suaminya hanya meminta nafkah iddah dan muttah saja dan selainnya tidak mengetahui adanya hak nafkah lainnya boleh dituntut seperti nafkah madliyah (nafkah lampau).

Nafkah madliyah adalah sesuatu yang merupakan kewajiban atas seseorang yang tidak dilakukan pada zaman lampau atau pada masa yang telah lalu, nafkah yang seharusnya diberikan pada saat masih berlangsungnya pernikahan namun hingga pengajuan cerai belum terbayarkan. Sehingga selama nafkah terutang tersebut belum dibayarkan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya maka suami masih memiliki hutang yang wajib dibayarkan untuk memenuhi nafkah keluarganya. (Sisca Hadi Velawati, dkk: Nafkah Madliyah Dalam Perkara Perceraian)

Sebelum adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Huruf C. Rumusan Hukum Kamar Agama, Angka 1. Hukum Keluarga huruf a., yaitu “Nafkah lampua (nafkah madliyah) anak yang dilalaikan oleh ayahnya dapat diajukan gugatan oleh ibunya atau orang yang secara nyata mengasuh anak tersebut.”

Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung, maka hukum positif yang mengatur nafkah madliyah telah terakomodir dan sebagai langkah revolusioner dalam perlindungan hak perempuan dan anak di Indonesia. Pengaturan demikian belum ditemukan dalam peradilan umum (Pengadilan Negeri), yaitu menganggap kelalaian pemenuhan nafkah dianggap sebagai hutang oleh suami kepada istri dan anaknya.

Sebaliknya, (di literatur Muhammad Yasin: Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak) dalam lingkup peradilan umum bagi suami yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya (misalkan istri dan anak-anak) akan terjerat Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
(1)       Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2)        Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Juncto Pasal 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap orang yang:
a.         menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (1);
b.         menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (2).
Sedangkan dari sisi hukum perdata di lingkungan peradilan umum, istri dan anak-anaknya bisa menggugat kepada suaminya dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dibandingkan dengan peradilan agama, kelalaian pemenuhan kewajiban oleh suami sudah dapat digugat oleh istri dan anak-anaknya dalam gugatan cerai gugat, adapun di peradilan umum gugatan pemenuhan kewajiban oleh suaminya diajukan secara tersendiri dan tidak termasuk dalam petitum gugatan cerai.

Walaupun demikian, untuk masa sekarang ini peradilan umum bisa mengadopsi kaidah hukum sebagaimana dalam Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019, Kamar Agama tersebut di atas. Dengan dapat dimasukkan dalam satu gugatan dapat  mempermudah perempuan dan anaknya dalam melindungi hak perdatanya dari tindakan suaminya.


Referensi:

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan


Muhammad Yasin: Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1f9a448576e/jika-suami-lalai-membayar-nafkah-istri-dan-anak/, akses tanggal 22 Januari 2020.

Sisca Hadi Velawati, Dari. Abdul Rachmad Budiono, dan Rachmi Sulistyarini: Nafkah Madliyah Dalam Perkara Perceraian, https://media.neliti.com/media/publications/35554-ID-nafkah-madliyah-dalam-perkara-perceraian.pdf, akses tanggal 22 Januari 2020. 




No comments:

Post a Comment