Kewajiban bagi suami sebagai kelapa keluarga dalam rumah tangga untuk bertanggung jawab dalam pemenuhan semua kebutuhan nafkah lahir dan batin bagi anggota keluarganya, seperti kebutuhan pakaian, nafkah, tempat tinggal serta biaya bagi anak-anaknya, guna tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahman.
Namun
demikian, jauh api dari panggang, adakalanya suami lalai dalam pemenuhan nafkah
lahir dan batin kepada istri dan anaknya karena alasan-alasan tertentu baik
disengaja maupun tidak disengaja. Bagi suami yang tidak mampu menafkahi istri
bisa dianggap berhutang dan istri berhak menuntut pengembalian atas nafkah
madliyah (nafkah lampau).
Oleh karena
ikatan perkawinan menuntut adanya hak dan kewajiban pada diri suami dan istri,
yaitu istri berhak menerima nafkah disebabkan adanya akad nikah yang sah
dilakukan oleh suami istri. Istri dianggap telah terikat dengan segala hak-hak
suaminya dan haram dinikahi oleh orang lain, sehingga ikatan tersebut menyebabkan
istri tidak dapat mencari nafkah untuk dirinya sendiri, karena itu istri berhak
untuk mendapatkan nafkah dari orang yang telah mengikatnya (suaminya).
Praktek hukum
keseharian sebelumnya, jika terjadi istri diceraikan oleh suaminya hanya
meminta nafkah iddah dan muttah saja dan selainnya tidak mengetahui adanya hak
nafkah lainnya boleh dituntut seperti nafkah madliyah (nafkah lampau).
Nafkah
madliyah adalah sesuatu yang merupakan kewajiban atas seseorang yang tidak
dilakukan pada zaman lampau atau pada masa yang telah lalu, nafkah yang
seharusnya diberikan pada saat masih berlangsungnya pernikahan namun hingga
pengajuan cerai belum terbayarkan. Sehingga selama nafkah terutang tersebut
belum dibayarkan oleh suami kepada istri dan anak-anaknya maka suami masih
memiliki hutang yang wajib dibayarkan untuk memenuhi nafkah keluarganya. (Sisca
Hadi Velawati, dkk: Nafkah Madliyah Dalam Perkara Perceraian)
Sebelum adanya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bagi Pengadilan, Huruf C. Rumusan Hukum Kamar Agama, Angka 1. Hukum
Keluarga huruf a., yaitu “Nafkah lampua (nafkah madliyah) anak yang dilalaikan
oleh ayahnya dapat diajukan gugatan oleh ibunya atau orang yang secara nyata
mengasuh anak tersebut.”
Dengan adanya
Surat Edaran Mahkamah Agung, maka hukum positif yang mengatur nafkah madliyah
telah terakomodir dan sebagai langkah revolusioner dalam perlindungan hak
perempuan dan anak di Indonesia. Pengaturan demikian belum ditemukan dalam
peradilan umum (Pengadilan Negeri), yaitu menganggap kelalaian pemenuhan nafkah
dianggap sebagai hutang oleh suami kepada istri dan anaknya.
Sebaliknya,
(di literatur Muhammad
Yasin: Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak) dalam lingkup
peradilan umum bagi suami yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya (misalkan istri dan anak-anak) akan terjerat Pasal 9 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Juncto Pasal 49 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga:
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (2).
Sedangkan dari
sisi hukum perdata di lingkungan peradilan umum, istri dan anak-anaknya bisa menggugat
kepada suaminya dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dibandingkan dengan peradilan
agama, kelalaian pemenuhan kewajiban oleh suami sudah dapat digugat oleh istri
dan anak-anaknya dalam gugatan cerai gugat, adapun di peradilan umum gugatan
pemenuhan kewajiban oleh suaminya diajukan secara tersendiri dan tidak termasuk
dalam petitum gugatan cerai.
Walaupun demikian,
untuk masa sekarang ini peradilan umum bisa mengadopsi kaidah hukum sebagaimana
dalam Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019, Kamar Agama tersebut
di atas. Dengan dapat dimasukkan dalam satu gugatan dapat mempermudah perempuan dan anaknya dalam melindungi
hak perdatanya dari tindakan suaminya.
Referensi:
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan
Muhammad
Yasin: Jika Suami Lalai Membayar Nafkah Istri dan Anak, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1f9a448576e/jika-suami-lalai-membayar-nafkah-istri-dan-anak/, akses tanggal 22 Januari 2020.
No comments:
Post a Comment