(Tinjauan
Aspek Kebijakan Publik Terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan kembali Dalam Perkara
Pidana)
Disusun
oleh:
Abdul
Affandi (NIM: MH.14.25.1674)[1]
I.
PENDAHULUAN
Peninjauan kembali
sebagai upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
sebagaimana yang terdapat dalam norma hukum pada Pasal 263 sampai dengan Pasal
269 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), telah menjadi polemik tersendiri dengan
hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 34/PUU-XI/2013
tanggal 6 Maret 2014, yang menyatakan norma hukum permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan
satu kali, pada Pasal 268 ayat (3) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Polemik tersebut
bertambah dengan juga terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 07 Tahun 2014 pada tanggal 31 Desember 2014, yang pada pokoknya menghidupkan
kembali norma hukum untuk permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana
dibatasi hanya satu kali.
Sebagai negara hukum
yang satu seginya adalah kepastian hukum, hal demikian menjadi permasalahan
tersendiri dalam bingkai peraturan perundang-undangan. Suatu putusan mahkamah
konstitusi berhadapan dengan peraturan kebijakan berupa surat edaran.
II.
PERMASALAHAN
Tulisan
ini hendak menghadirkan pembahasan, apakah pembatasan peninjauan kembali dalam
surat edaran mampu memuat nilai-nilai dan kepentingan publik khususnya para
pencari keadilan dalam perkara pidana?
III.
SURAT EDARAN SEBAGAI PERATURAN
KEBIJAKAN DALAM LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK
Edwards
dan Sharkansky merumuskan “kebijakan publik adalah apa yang dikatakan dan apa
yang dilakukan oleh pemerintah atau apa yang tidak dilakukannya ... ia adalah
tujuan-tujuan atau saran-sarana dari program-program.”, sedangkan David Easton
merumuskan “kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai
secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang
berwenang seperti pemerintah.”[2]
Adapun,
peraturan kebijakan sebagai produk kebijakan yang bersifat bebas yang
ditetapkan oleh pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat
diberlakukan secara umum.[3]
Sedangkan
Victor Imanuel W. Nalle telah mengkonstruksikan konsep peraturan kebijakan di
Indonesia dengan beberapa ciri, yakni 1. Peraturan kebijakan dibentuk bukan
atas dasar kewenangan yang diberikan tetapi untuk mengatasi permasalahan yang
belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada; 2. Isi peraturan
kebijakan ditujukan pada badan atau pejabat administrasi bukan untuk masyarakat
umum; 3. Peratuaran kebijakan dituangkan secara tertulis tetapi tidak dalam
bentuk peraturan yang merupakan peraturan perundang-undangan; 4. Peraturan
kebijakan bukan merupakan peratuaran perundang-undangan; dan 5. Peraturan
kebijakan tidak dapat diuji material.[4]
Dengan
demikian, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014
tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan kembali Dalam Perkara Pidana tersebut
dapat dicirikan memenuhi kriteria sebagai peraturan kebijakan. Oleh karena
surat edaran tersebut dibentuk oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
berwenang di ranah yustisi yang tidak ditujukan kepada masyarakat umum hanya
ditujukan kepada lingkup badan peradilan, dan dituangkan secara tertulis dalam
bentuk surat edaran.
IV.
KEPASTIAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM
Setiap
produk hukum dan kebijakan publik yang dihasilkan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka, setidaknya selalu mencerminkan
lima identitas pokok, yaitu sebagai negara kesatuan, negara republik, negara
demokratis, negara kesejahteraan, dan negara hukum (identitas khususnya adalah
Pancasila) supaya tidak menjadi a
historis dengan kenyataan riil yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan itu,
Harrold Laswell dan Abraham Kaplan menghendaki kebijakan publik untuk berisi
tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.[5]
Soerjono
Soekanto mengatakan sahnya suatu kaidah hukum tergantung pada proses
pembentukan hukum secara dinamis, serta sahnya tertib hukum tergantung pada
efektivitas yuridis aturan hukum.[6]
Sedangkan
pengertian kaidah berasal dari bahasa Arab yang berarti suatu aturan, norma,
petunjuk, atau perintah tentang tingkah laku orang.[7]
Kaidah dapat juga berarti rumusan asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah
pasti atau petunjuk.[8]
Surat
Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan
Permohonan Peninjauan kembali Dalam Perkara Pidana adalah beranjak dari amar
Putusah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6
Maret 2014 pada butir 1.2 dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Mahkamah
Agung Republik Indonesia menganggap dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia tersebut telah tidak adanya kepastian hukum terhadap
permohonan peninjauan kembali. Sehingga untuk terwujudnya kepastian hukum akan
permohonan peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia telah
mengeluarkan surat edaran tersebut untuk memberi petunjuk.
Pada
pokoknya Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa dengan dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap kaidah hukum peninjauan
kembali pada KUHAP, maka tidak serta merta menghapus kaidah hukum permohonan
peninjauan kembali pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakim dan Pasal 66 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahakamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2009. Oleh karena itu permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana
dibatasi hanya 1 (satu) kali dengan pengecualian permohonan peninjauan kembali
yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pengajuan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau
lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik
dalam perkara perdata maupun perkara pidana.
Oleh
sebab itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi petunjuk kepada Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama, untuk mengeluarkan penetapan berupa permohonan
tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia, terhadap permohonan peninjauan kembali yang tidak
sesuai dengan ketentuan dalam surat edaran tersebut.
Sebaliknya,
Arief Hidayat berpendapat Mahkamah Konstitusi dengan karakter sebagai peradilan
konstitusi menganut prinsip keadilan substantif daripada keadilan prosedural,
sehingga Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan
prosedural memasung dan mengesampingkan keadilan substantif. Oleh karenanya
pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai keadilan yang menjadi visi kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 24
UUD 1945.[9]
Kaidah
hukum peninjauan kembali sebagaimana terdapat pada undang-undang kekuasaan
kehakiman dan undang-undang mahkamah agung tidak serta merta menjadi batal
karena Mahkamah Konstitusi tidak pernah membatalkan kaidah dalam kedua
undang-undang tersebut. Tetapi dari segi substansi, sejatinya kaidah ini telah
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga secara substansi terhadap
ketentuan peninjauan kembali yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut
perlu dilakukan harmonisasi agar tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu, putusan tersebut memuat politik hukum bagi
pembentuk undang-undang agar secepatnya melakukan harmonisasi dan revisi
peraturan yang memuat peninjauan kembali secara komprehensif sehingga materinya
tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang merefleksikan nilai
konstitusi. Dengan kata lain, keadilan prosedural itu penting, namun manakala
keadilan prosedural menyandera keadilan substansial, maka keadilan substansial
yang didahulukan.[10]
V.
KESIMPULAN
Pembatasan
peninjauan kembali dalam surat edaran mampu memuat nilai-nilai dan kepentingan
publik khususnya para pencari keadilan dalam perkara pidana
[1] Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum dan
Kebijakan Publik, pada Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Unissula (Universitas
Islam Sultan Agung), Kuliah Semester II Tahun Akademik 2014-2015.
[2]
S. Rodhiyah Dwi Istinah, Hukum dan Kebijakan Publik, bahan kuliah Program
Pascasarjana Magister (S-2) Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang,
2015.
[3] Arif Christiono Soebroto, S.H., M.Si., Kedudukan Hukum
Peraturan/Kebijakan dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas, hlm. 5, diakses di birohukum.bappenas.go.id, pada
tanggal 12 Februari 2015.
[4] Victor Imanuel W. Nalle, Kewenangan Yudikatif Dalam Pengujian
Peraturan Kebijakan, Jurnal Yudisial Volume 6 Nomor 1 April 2013, hlm. 33-47,
diakses di www.academia.edu, pada tanggal 12 Februari 2015.
[5] S. Rodhiyah Dwi Istinah, op
cit.
[6] Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.H., Teori yang Murni tentang
Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), hlm. 151.
[7] Prof. R. Subekti, S.H., dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 1996), Cet. 12, hlm. 65.
[8] B.N. Marbun, S.H., Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006), hlm. 123.
[9] Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., Konstruksi Ideal Pelaksanaan
Peninjauan Kembali Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, hlm. 4.
(Disampaikan dalam acara Seminar Nasional dengan tema, “Konstruksi Ideal
Peninjauan Kembali yang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (PK di atas PK) pada 31 Januari 2015, diselenggarakan oleh Program
Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(UNISSULA) Semarang).
[10] Ibid. hlm. 6-7.
No comments:
Post a Comment