Friday, August 24, 2018

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA HUKUM


(Tinjauan Aspek Kebijakan Publik Terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan kembali Dalam Perkara Pidana)



 Disusun oleh:

Abdul Affandi (NIM: MH.14.25.1674)[1]





I.       PENDAHULUAN

Peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam norma hukum pada Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), telah menjadi polemik tersendiri dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014, yang menyatakan norma hukum permintaan peninjauan kembali  atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali, pada Pasal 268 ayat (3) KUHAP, tidak mempunyai kekuatan mengikat.



Polemik tersebut bertambah dengan juga terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 pada tanggal 31 Desember 2014, yang pada pokoknya menghidupkan kembali norma hukum untuk permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali.

Sebagai negara hukum yang satu seginya adalah kepastian hukum, hal demikian menjadi permasalahan tersendiri dalam bingkai peraturan perundang-undangan. Suatu putusan mahkamah konstitusi berhadapan dengan peraturan kebijakan berupa surat edaran.



II.     PERMASALAHAN

Tulisan ini hendak menghadirkan pembahasan, apakah pembatasan peninjauan kembali dalam surat edaran mampu memuat nilai-nilai dan kepentingan publik khususnya para pencari keadilan dalam perkara pidana?



III.    SURAT EDARAN SEBAGAI PERATURAN KEBIJAKAN DALAM LINGKUP KEBIJAKAN PUBLIK

Edwards dan Sharkansky merumuskan “kebijakan publik adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah atau apa yang tidak dilakukannya ... ia adalah tujuan-tujuan atau saran-sarana dari program-program.”, sedangkan David Easton merumuskan “kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah.”[2]

Adapun, peraturan kebijakan sebagai produk kebijakan yang bersifat bebas yang ditetapkan oleh pejabat administrasi negara dalam rangka menyelenggarakan tugas pemerintahan dan dituangkan dalam suatu format tertentu supaya dapat diberlakukan secara umum.[3]

Sedangkan Victor Imanuel W. Nalle telah mengkonstruksikan konsep peraturan kebijakan di Indonesia dengan beberapa ciri, yakni 1. Peraturan kebijakan dibentuk bukan atas dasar kewenangan yang diberikan tetapi untuk mengatasi permasalahan yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang sudah ada; 2. Isi peraturan kebijakan ditujukan pada badan atau pejabat administrasi bukan untuk masyarakat umum; 3. Peratuaran kebijakan dituangkan secara tertulis tetapi tidak dalam bentuk peraturan yang merupakan peraturan perundang-undangan; 4. Peraturan kebijakan bukan merupakan peratuaran perundang-undangan; dan 5. Peraturan kebijakan tidak dapat diuji material.[4]

Dengan demikian, Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan kembali Dalam Perkara Pidana tersebut dapat dicirikan memenuhi kriteria sebagai peraturan kebijakan. Oleh karena surat edaran tersebut dibentuk oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berwenang di ranah yustisi yang tidak ditujukan kepada masyarakat umum hanya ditujukan kepada lingkup badan peradilan, dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat edaran.



IV.   KEPASTIAN HUKUM DALAM NEGARA HUKUM

Setiap produk hukum dan kebijakan publik yang dihasilkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka, setidaknya selalu mencerminkan lima identitas pokok, yaitu sebagai negara kesatuan, negara republik, negara demokratis, negara kesejahteraan, dan negara hukum (identitas khususnya adalah Pancasila) supaya tidak menjadi a historis dengan kenyataan riil yang ada di Indonesia. Berkaitan dengan itu, Harrold Laswell dan Abraham Kaplan menghendaki kebijakan publik untuk berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.[5]

Soerjono Soekanto mengatakan sahnya suatu kaidah hukum tergantung pada proses pembentukan hukum secara dinamis, serta sahnya tertib hukum tergantung pada efektivitas yuridis aturan hukum.[6]

Sedangkan pengertian kaidah berasal dari bahasa Arab yang berarti suatu aturan, norma, petunjuk, atau perintah tentang tingkah laku orang.[7] Kaidah dapat juga berarti rumusan asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti atau petunjuk.[8]

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan kembali Dalam Perkara Pidana adalah beranjak dari amar Putusah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 pada butir 1.2 dinyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mahkamah Agung Republik Indonesia menganggap dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tersebut telah tidak adanya kepastian hukum terhadap permohonan peninjauan kembali. Sehingga untuk terwujudnya kepastian hukum akan permohonan peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan surat edaran tersebut untuk memberi petunjuk.

Pada pokoknya Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa dengan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap kaidah hukum peninjauan kembali pada KUHAP, maka tidak serta merta menghapus kaidah hukum permohonan peninjauan kembali pada Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakim dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahakamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009. Oleh karena itu permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali dengan pengecualian permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Kembali yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Oleh sebab itu, Mahkamah Agung Republik Indonesia memberi petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, untuk mengeluarkan penetapan berupa permohonan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, terhadap permohonan peninjauan kembali yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam surat edaran tersebut.

Sebaliknya, Arief Hidayat berpendapat Mahkamah Konstitusi dengan karakter sebagai peradilan konstitusi menganut prinsip keadilan substantif daripada keadilan prosedural, sehingga Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural memasung dan mengesampingkan keadilan substantif. Oleh karenanya pembatasan peninjauan kembali hanya satu kali dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi visi kekuasaan kehakiman berdasarkan Pasal 24 UUD 1945.[9]

Kaidah hukum peninjauan kembali sebagaimana terdapat pada undang-undang kekuasaan kehakiman dan undang-undang mahkamah agung tidak serta merta menjadi batal karena Mahkamah Konstitusi tidak pernah membatalkan kaidah dalam kedua undang-undang tersebut. Tetapi dari segi substansi, sejatinya kaidah ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga secara substansi terhadap ketentuan peninjauan kembali yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut perlu dilakukan harmonisasi agar tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, putusan tersebut memuat politik hukum bagi pembentuk undang-undang agar secepatnya melakukan harmonisasi dan revisi peraturan yang memuat peninjauan kembali secara komprehensif sehingga materinya tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang merefleksikan nilai konstitusi. Dengan kata lain, keadilan prosedural itu penting, namun manakala keadilan prosedural menyandera keadilan substansial, maka keadilan substansial yang didahulukan.[10]





V.     KESIMPULAN



Pembatasan peninjauan kembali dalam surat edaran mampu memuat nilai-nilai dan kepentingan publik khususnya para pencari keadilan dalam perkara pidana





[1] Tugas Makalah Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Publik, pada Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Unissula (Universitas Islam Sultan Agung), Kuliah Semester II Tahun Akademik 2014-2015.
[2] S. Rodhiyah Dwi Istinah, Hukum dan Kebijakan Publik, bahan kuliah Program Pascasarjana Magister (S-2) Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, 2015.
[3] Arif Christiono Soebroto, S.H., M.Si., Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan dibawah Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, hlm. 5, diakses di birohukum.bappenas.go.id, pada tanggal 12 Februari 2015.
[4] Victor Imanuel W. Nalle, Kewenangan Yudikatif Dalam Pengujian Peraturan Kebijakan, Jurnal Yudisial Volume 6 Nomor 1 April 2013, hlm. 33-47, diakses di www.academia.edu, pada tanggal 12 Februari 2015.
[5] S. Rodhiyah Dwi Istinah, op cit.
[6] Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H., M.H., Teori yang Murni tentang Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), hlm. 151.
[7] Prof. R. Subekti, S.H., dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), Cet. 12, hlm. 65.
[8] B.N. Marbun, S.H., Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hlm. 123.
[9] Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., Konstruksi Ideal Pelaksanaan Peninjauan Kembali Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, hlm. 4. (Disampaikan dalam acara Seminar Nasional dengan tema, “Konstruksi Ideal Peninjauan Kembali yang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PK di atas PK) pada 31 Januari 2015, diselenggarakan oleh Program Doktor (S3) Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang).
[10] Ibid. hlm. 6-7.

No comments:

Post a Comment