Sebagaimana pada Surat Edaran
Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Peradilan, pada angka 7: “Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar
lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad
baik.”
Adapun pada angka 4 huruf a: “Pembelian
terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut
ketentuan hukum adat yaitu: dilakukan secara tunai dan terang (di
hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat).”
Dari kedua rumusan tersebut pada
pokoknya dapat disimpulkan bahwa:
1.
Perjanjian jual beli tanah dapat dilakukan
secara PPJB yang berakibat norma hukum adat “terang dan tunai”, yang mana
dimaksud dengan terang adalah dihadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat
dan tunai adalah walaupun baru dibayar sebagian peralihan hak sudah terjadi
walaupun belum dibayar lunas dan sisanya dianggap sebagai hutang, adalah tidak
berlaku lagi untuk norma “tunai” sebagaimana yang dimaksud tersebut. Oleh karena
dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung RI tersebut maka pada lembaga PPJB
telah dikenal bahwa peralihan hak atas tanah secara hukum terjadi jika pembeli
telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan
dilakukan dengan itikad baik.
2.
Telah ada pergeseran makna jual beli tanah yang
tidak dilakukan dengan hukum adat, yaitu tunai dalam PPJB bukan lagi sebagaimana tunai dalam hukum adat.
3.
Norma hukum adat “terang dan tunai” hanyalah
berlaku terhadap pembelian terhadap tanah milik adat atau yang belum terdaftar.
Dengan sebab itu untuk perkara yang
terkait dengan tanah, majelis hakim harus lebih berhati-hati dalam pemberlakuan
norma hukum adat “terang dan tunai” dalam perjanjian jual beli tanah, hal ini
terkait dengan penentuan status tanah dan riwayat tanah sebagai dasar
kepemilikan tanah. Semoga bermanfaat.
Tautan: